JAKARTA, KOMPAS.com - Anggaran sebesar Rp 2,6 triliun yang diminta Kepolisian RI untuk pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) dianggap bisa menimbulkan kesenjangan. Anggaran besar itu dianggap tidak adil bagi kejaksaan.
"Kesetaraan di antara penegak hukum ini perlu dicermati, apa bisa dibiarkan seperti ini, karena semua punya fungsi yang sama," ujar anggota Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) Narendra Jatna di Jakarta, Minggu (22/10/2017).
Narendra mengatakan, di kejaksaan sendiri sebenarnya pernah dibentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK). Namun, tanpa alokasi anggaran yang begitu besar, menurut Narendra, Satgasus mampu meningkatkan performa.
Menurut dia, hal serupa seharusnya bisa terjadi pada Densus Tipikor buatan Polri.
(Baca juga: Persatuan Jaksa Tak Setuju Ada Penuntutan di Densus Tipikor Polri)
Di sisi lain, perbandingan anggaran antara Densus Tipikor Polri dan kejaksaan secara institusi berbanding jauh.
Menurut Narendra, anggaran kejaksaan per tahun hanya sebesar Rp 4,6 triliun. Jumlah itu sudah mencakup semua tugas dan fungsi kejaksaan, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi.
Bahkan, menurut Narendra, anggaran itu sudah termasuk belanja pegawai dan gaji aparatur jaksa se-Indonesia.
"Bayangkan anggaran Densus Tipikor Polri setengah dari anggaran institusi kejaksaan," kata Narendra.
(Baca juga: Soal Pembentukan Densus Tipikor, Masyarakat Dinilai Lebih Percaya KPK)
Narendra mengatakan, pada prinsipnya PJI tidak mempersoalkan rencana pembantukan satuan khusus oleh Polri. Hanya saja, menurut Narendra, mengenai mata anggaran harus ada kesetaraan di antara penegak hukum.
"Kejaksaan mulai dari penyidikan, penuntutan sampai eksekusi. Maka anggaranya harus lebih besar. Apa lagi Densus dikhususkan bagian penyidikan saja," kata Narendra.