JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Suwadi P Pranoto mengakui bahwa persoalan perbedaan pendapat yang terjadi di tengah masyarakat tidak mudah diatasi. Namun demikian, bukan berarti hal itu tidak dapat dilakukan.
"Secara kebudayaan, kerja tentang perbedaan pendapat ini kan perlu waktu ya. Tapi secara teknis kan harus dimulai," Kata Suwadi di sela acara diskusi di bilangan Condet, Jakarta Timur, Sabtu (21/10/2017).
Ia menilai, perbedaan pendapat yang kerap terjadi di masyarakat tak jarang berpotensi menimbulkan perpecahan. Misalnya, pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu di mana masyarakat menjadi terpolarisasi.
Menurut dia, sedianya masyarakat kembali melihat esensi dari pesta demokrasi. Esensi ini, kaitannya sangat erat dengan kemampuan bertindak seseorang yang menggunakan akal budi dan hati nuraninya.
"Tidak memilih secara emosional. Orang memilih tidak emosional itu bagian dari pelan-pelan berdemokrasi menurut aturan dasarnya," kata dia.
(Baca juga: Jelang Tahun Politik, PBNU Harap Persaingan Dilakukan Secara Sehat)
Agar seseorang bisa mengontrol emosinya, menurut Suwadi, salah satu kuncinya adalah bertirakat. Tirakat secara sederhana dapat diartikan menahan hawa nafsu.
Oleh karena itu, tirakat juga menjadi bagian penting dalam proses demokrasi. Sebab, tirakat bisa menjadi pencegah konflik di masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan.
"Salah satu unsur bertirakat kan menahan syahwat (nafsu/keinginan). Kalau kita memilih ditonjolkan syahwatnya kan yang muncul marahnya. Tapi kalau yang kita perkuat rasionalnya kan nanti pelan pelan persaingannya akan jadi sehat," kata dia.
(Baca juga: Jelang Tahun Pemilu, Jokowi Minta Polri Petakan Sumber-sumber Provokasi)
Suwadi berharap, banyak masyarakat yang mulai terbiasa bertirakat. Terlebih, tahun depan sudah masuk tahun politik. Dengan bertirakat, ia berharap, pesta demokrasi dapat berjalan tertib, aman, dan lancar.
"Tirakat dalam pengertian mengendalikan diri, mengatur syahwat-syahwat politik itu menjadi penting agar orang berpolitik lebih rasional. Karena orang yang berpolitik semata-mata memakai syahwatnya itu hayawanun aqil (hewan yang berakal), sekedar makhluk yang berakal tapi bukan manusia," kata Suwadi.