JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri menjadi perhatian beberapa waktu belakangan ini.
Berbagai pendapat mengemuka. Densus Tipikor ditargetkan terbentuk pada akhir 2017.
Banyak yang mendukung pembentukan Densus Tipikor tersebut, tak sedikit pula yang beranggapan keberadaan Densus Tipikor belum diperlukan.
Apalagi, sampai saat ini ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semakin gencar melakukan operasi tangkap tangan alias OTT.
Seberapa penting sebenarnya pembentukan Densus Tipikor Polri?
Baca: Wapres JK Nilai Tak Perlu Ada Densus Tipikor Polri
Densus Tipikor Polri rencananya akan dipimpin oleh seorang jenderal polisi bintang dua.
Pimpinan Densus akan membawahi 500 perwira menengah Polri yang akan menjadi penyidik kasus-kasus korupsi.
Selain itu, Densus Tipikor untuk sementara hanya akan ditempatkan sampai level Kepolisian Daerah atau Polda di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk merealisasikan pembentukan satuan tersebut, Polri membutuhkan anggaran sekitar Rp 2,6 triliun.
Wacana pembentukan Densus Tipikor Polri muncul karena sebagian anggota Komisi III DPR mempertanyakan peran Polri dalam pemberantasan korupsi.
Baca: Fahri Hamzah: Wapres Seenaknya Aja Ngomong Tak Perlu Densus Tipikor
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian meyakini keberadaan Densus Tipikor akan secara masif mengungkap berbagai kasus di Indonesia.
Ia menyebutkan, kelebihan utama Polri dibandingkan KPK adalah jaringan yang luas di seluruh Indonesia dan jumlah personel yang banyak.
Menurut dia, jika hanya mengungkap kasus-kasus besar, maka efeknya di masyarakat tak akan masif.