JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yusril Ihza Mahendra menilai, semestinya pemerintah tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017.
Ia mengatakan, sebaiknya pemerintah langsung mengajukan revisi UU Ormas No. 17 Tahun 2013.
"Kesimpulannya saya sarankan ditolak. Saya lebih baik sebaiknya pemerintah ajukan revisi undang-undang agar paham bertentangan Pancasila supaya tak multitafsir," ujar Yusril di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/10/2017).
(baca: Dengan Nada Tinggi, Ketua MK Ceramahi Penggugat Perppu Ormas)
Hal itu, kata dia, agar pemerintah dan DPR bisa saling berdiskusi terkait dua hal tersebut sehingga pemerintah tak sewenang-wenang dalam menentukan organisasi mana yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Apalagi, lanjut Yusril, sanksi pidana yang dikenakan kepada anggota organisasi yang dianggap bertentangan paham dengan Pancasila sangat berat, yakni bisa dihukum penjara paling berat seumur hidup.
"Ini yang ditangkap pasal 82, sanksi bukan saja pengurus, tapi juga anggota. Seumur hidup, teringan lima tahun. Penjajah Belanda saja enggak pernah buat seperti ini, Orde Baru enggak pernah," lanjut dia.
(baca: Jokowi: Yang Tak Setuju Perppu Ormas, Silakan Tempuh Jalur Hukum)
Pascapenerbitan Perppu Ormas, pemerintah mencabut status bahan hukum HTI karena dianggap anti-Pancasila.
Komisi II DPR tengah membahas Perppu Ormas dengan meminta pandangan berbagai ormas. Nantinya, DPR akan memutuskan apakah menerima atau menolak Perppu itu.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi juga tengah melakukan uji materi Perppu Ormas.