Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras Nilai Penyiksaan Masih Dianggap Wajar oleh Aparat Hukum

Kompas.com - 13/10/2017, 23:13 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

Tak ada efek jera

Tingginya kasus penyiksaan oleh aparat penegak hukum, menurut Arif, disebabkan karena negara tidak memiliki mekanisme efek jera dalam praktik akuntabilitas.

Aparat cenderung menggunakan upaya damai dengan menawarkan kompensasi uang kepada korban dan keluarganya.

Dalam beberapa kasus, kepolisian tidak menindaklanjuti proses hukum terhadap anggotanya yang tersangkut kasus penyiksaan.

"Di sisi lain jika membandingkan berkas perkara yang melibatkan aparat penegak hukum dengan warga sipil, vonisnya rendah, 2 sampai 4 tahun. Namun jika pelaku penyiksaannya warga sipil hukumannya lebih dari 5 tahun," kata Arif.

Berangkat dari fakta tersebut, lanjut Arif, Kontras mendesak agar pemerintah dan DPR membahas RUU Tindak Pidana Penyiksaan. Selain itu pembahasan revisi KUHP dan KUHAP juga perlu dipercepat.

Menurut Arif, selama ini tidak ada mekanisme hukum yang mampu memberikan efek jera bagi aparat negara yang menjadi pelaku kasus penyiksaan.

Mabes Polri sebelumnya sudah memberikan tanggapan terhadap riset mengenai masih adanya penyiksaan oleh oknum anggotanya, berdasarkan riset Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Jika memang terbukti ada penyiksaan, maka Polri akan menindaklanjuti dengan melakukan proses hukum.

"Kalau memang terbukti ada fakta-fakta yang menunjukkan benar ada penyiksaan maka akan diproses," kata Inspektur Wilayah V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri Brigjen Syaiful Zachri.

(Baca: Kepolisian dan Bayang-bayang Penyiksaan)

Syaiful menilai bahwa adanya penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian merupakan cerminan masih kurangnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan sarana serta prasarana penyidikan.

"Macam-macam, ada kurangnya kemampuan anggota tentang pemahaman prosedur, kemudian secara pribadi mungkin kondisi dalam tekanan atau kekurangan sarana prasarana untuk pembuktian," kata dia.

Menurut Syaiful, anggota berpangkat bintara kemungkinan besar bisa melakukan hal tersebut. Pasalnya, pendidikan yang hanya memakan waktu tujuh bulan belum cukup membuat mereka paham prosedur dan aturan hukum dalam KUHAP.

Pendidikan tujuh bulan berupa tiga bulan perubahan mindset dari warga sipil ke anggota dan empat bulan teknis seperti mempelajari KUHAP dianggap Syaiful masih kurang.

"Di penyidikan 7 bulan bisa apalah, menghapal KUHAP dan macam-macam serta kemudian ditugaskan, tekanan pimpinan harus berhasil, target waktu juga membuat mereka minim konfirmasi dan kroscek pengakuan," kata Syaiful.

Namun, Syaiful tak serta merta menyalahkan anggotanya atas adanya penyiksaan terhadap warga sipil. Menurut dia, polisi akan bersikap baik jika masyarakat dan lingkungan yang ada mendukung anggotanya bersikap baik.

"Tetapi atas nama Polri, kami mohon maaf jika memang terjadi hal demikian dan tidak akan menolerir anggota kami yang melakukan penyiksaan itu," kata Syaiful.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com