JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa Hukum Setya Novanto Fredrich Yunadi menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 21 PUU-XII/2014 terkait prapreradilan tidak serta merta memperbolehkan penetapan tersangka kembali terhadap orang yang memenangi praperadilan.
Ia yakin putusan tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum, melainkan sekadar pertimbangan hukum.
Menurut Fredrich, dasar hukum yang berlaku di Indonesia adalah UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah.
Selain aturan-aturan hukum itu, seperti putusan MK, hanya merupakan pertimbangan hukum layaknya keterangan saksi sehingga bisa digunakan atau tidak.
Baca: Jika KPK Tersangkakan Lagi Setya Novanto, Kuasa Hukum Bakal Lapor Polisi
"Sekarang apakah ada putusan revisi dari DPR? Undang-Undang wilayah DPR. Apakah sekarang ada putusan dari DPR pasal sekian tidak sah atau dihapus, tidak ada. Selama tidak ada berarti undang-undang (KUHAP) masih sah dan mengikat semua pihak," kata Fredrich di kantornya, Gandaria, Jakarta, Jumat (6/10/2017).
Oleh karena itu, ia meminta KPK menghormati undang-undang yang berlaku dan tak menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru terhadap Novanto.
Saat ditanya apakah putusan MK berarti tidak final dan mengikat, Fredrich bersikeras baru akan berlaku final dan mengikat bila UU yang dibatalkan sudah direvisi.
Selama undang-undang yang dibatalkan belum direvisi, ia yakin masih berlaku.
"Final and binding dalam artian harus ditindaklanjuti dengan perubahan undang-undang. Final and binding tapi harus undang-undang (yang dibatalkan) diubah. Masih berlaku (undang-undang yang belum direvisi), itu pendapat saya," lanjut dia.