JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menghapus Pasal 43 A dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme, Supiadin Aries Saputra menyampaikan, "pasal Guantanamo" itu dihapus karena mempertimbangkan sejumlah hal, salah satunya berkaitan dengan hak asasi manusia.
"Ya melanggar HAM dong. Bagaimana orang tidak jelas bisa ditangkap, ditahan, dipenjarakan untuk waktu 60 hari. Dasar hukumnya apa?" kata Supiadin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/10/2017).
Supiadin menambahkan, pada perjalanan pembahasan, pemerintah lah yang lebih dulu meminta pasal itu dihapus. Hal itu dilakukan pemerintah agar pasal itu tak menjadi masalah di kemudian hari.
"Belum sempat dibahas, mereka sudah drop. Jadi kami kan sudah sering berdiskusi soal itu," ujar Anggota Komisi I DPR itu.
(Baca juga: Pasal ?Guantanamo? di RUU Antiterorisme Penuh Kontroversi)
Sementara, untuk menindak terduga teroris, menurut Supiadin, sudah ada pasal penangkapan. Sehingga penangkapan harus disertai alat bukti.
"Di depan sudah ada pasal penangkapannya, harus didahului dua alat bukti permulaan yang cukup," ucap dia.
Adapun "pasal Guantanamo" sejak awal pembahasan dinilai sejumlah pihak sebagai salah satu pasal yang kontroversial dalam draf revisi UU Antiterorisme.
Disebut dengan istilah "Pasal Guantanamo", merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba, di mana ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terkait jaringan teroris.
Pasal itu mengatur kewenangan penyidik maupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama enam bulan.
(Baca juga: Pimpinan Pansus RUU Antiterorisme Nilai "Pasal Guantanamo" Mestinya Tak Perlu Ada)
Beberapa pihak menilai, ada banyak celah untuk penyalahgunaan wewenang pada pasal tersebut, termasuk hakim Mahkamah Agung.
"Pasal 43 A ini harusnya dibuang saja karena tidak sesuai dengan kaidah hukum yang adil yakni terkait penahanan dan penangkapan," kata Hakim MA, Salman Luthan.
Menurut dia, dalam sistem demokrasi, seharusnya hukum diatur dengan prinsip demokrasi. Keberadaan Pasal 43 A dalam draf RUU Antiterorisme dianggapnya kembali ke era otoritarian.