JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi berhak mengangkat sendiri penyelidik dan penyidik di luar yang berasal dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
Aturan pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang KPK yang berbunyi “Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109/PUU-XIII/2015.
"Putusan MK sifatnya final and binding. Artinya mengikat siapa saja," ujar Feri dalam sidang praperadilan Setya Novanto, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2017).
Dalam putusannya, hakim MK menyatakan bahwa KPK dapat merekrut penyidik, baik dari instansi lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan, serta dapat juga merekrut sendiri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK.
Baca: KPK: Dirut PT Quadra Solution Serahkan Uang kepada Setya Novanto dan Anggota DPR Lain
Untuk penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan harus diberhentikan sementara dari instansi asalnya.
Feri mengatakan, KPK butuh penyidik yang independen agar tidak diintervensi lembaga yang berpotensi terlibat kasus korupsi.
Ia mengakui, penjelasan dalam Pasal 45 multitafsir sehingga harus dipertegas dengan putusan MK.
JIka ada yang menganggap putusan MK tersebut tidak mengikat, ia menganggap hal tersebut merupakan pendapat pribadi.
"Sehingga dalam perkara 109 hakim MK berpendapat KPK berhak angkat penyelidik, penyidik, penuntut, sendiri. Tidak ada permasalahan," kata dia.
Baca: KPK Tetapkan Tersangka ke-6 Kasus E-KTP
Sebelumnya, tim pengacara Setya Novanto mengajukan keberatan atas status penyelidik dan penyidik KPK yang bukan berasal dari Polri dan Kejaksaan.
Mereka menganggap produk penyelidikan dan penyidikan yang dikeluarkan juga tidak sah, termasuk penetapan tersangka Novanto.
Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.
Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.
Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.
Saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP.
Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.