JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai, pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo merupakan bentuk kesalahpahaman dalam berkomunikasi di antara pimpinan institusi pemerintah.
Hal itu, kata Agus, dapat memperkeruh situasi politik ke depan jika terus berlanjut. Terlebih, sudah mendekati tahun politik.
"Kita ketahui tahun ini sudah memasuki tahun politik. Memang bisa saja komunikasi yang nanti dikonotasikan ini berhimpitan dengan politik dan sebagainya. Namun, menurut saya, pemerintah yang paling tepat harus menjelaskan ini seluruhnya," kata Agus di Komplels Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/9/2017).
(baca: Setara: Jokowi Mesti Hati-hati Sikapi Panglima TNI)
Ia menilai, Presiden Joko Widodo beserta jajarannya semestinya menjelaskan kepada publik dan DPR terkait kesalahpahaman pengadaan senjata.
Dengan demikian, lanjut Agus, pemerintah juga bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya hingga tahun 2019.
"Sebaiknya duduk bersama menjelaskan kepada rakyat dan DPR masalah miskomunikasi tersebut karena jangan sampai isu ini berhimpitan dengan isu politik yang nanti menjadi mengurangi kinerja baik pemerintah maupun kita seluruhnya," lanjut politisi Demokrat itu.
(baca: Komisi I: Pernyataan Panglima TNI soal 5.000 Senjata Tidak pada Tempatnya)
Sebelumnya, beredar rekaman suara Panglima TNI di media sosial saat berbicara dalam acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).
Dalam rekaman itu, Panglima TNI menyebut adanya institusi nonmiliter yang membeli 5.000 pucuk senjata.
"Data-data kami, intelijen kami akurat," ucapnya.
(baca: Luruskan Pernyataan Panglima, Wiranto Sebut 500 Pucuk Senjata untuk Pendidikan BIN)
Ia juga bicara soal adanya oknum di TNI.
"Bahkan TNI pun akan dibeli. Tidak semuanya bintang-bintang di sini bersih. Ada yang punya keinginan dengan cara amoral unutk mendapat jabatan," ucap Panglima.
Panglima TNI juga bicara soal larangan bagi Kepolisian untuk memiliki senjata yang bisa menembak peralatan perang TNI.