SETIAP bulan September, bangsa Indonesia selalu diingatkan kembali atas terjadinya tragedi politik dan kemanusiaan, yang lebih dikenal sebagai G 30 S PKI, atau Gerakan Tigapuluh September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia.
Di catatan sejarah yang ada, Bung Karno lebih suka menyebut Gestok, atau Gerakan Satu Oktober.
Apapun kontroversi cerita tragedi masa lalu itu, satu yang pasti, bencana kemanusiaan telah terjadi.
Keadaan politik dan cara pengelolaan politik negara saat itu terbukti melahirkan kerusakan dahsyat terhadap kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Masyarakat awam seumuran sayapun saat itu dengan mata telanjang disuguhi tontonan langsung kengerian kondisi korban pembantaian manusia dari pihak pihak yang sedang berperang.
Saya harus mengatakan, saat itu lebih tepat dikatakan sebagai perang brutal antara pengikut Partai Komunis Indonesia dengan kelompok masyarakat anti komunis. Hanya dalam kondisi perang, menghilangkan nyawa menjadi salah satu cara untuk menang.
Tanpa bermaksud membenarkan terjadinya pembunuhan yang sungguh melanggar makna kemanusiaan, kondisi sosial politik di masa itu memang memicu terjadinya tragedi.
Goyahnya kepemimpinan nasional saat itu mengakibatkan perpecahan di masyarakat khususnya di tubuh Tentara Nasional Indonesia.
Kegoyahan kepempimpinan juga mengakibatkan diplomasi sebagai bagian penting untuk menghentikan peperangan tidak mampu dijalankan.
Selain itu, propaganda dan provokasi menjadi informasi sesat yang melahirkan kebingungan dan mengakibatkan masyarakat memilih sendiri apa yang hendak mereka lakukan.
Catatan kecil ini ingin mengetengahkan perlunya kekuatan, kebijakan, dan nalar pemimpin dalam mengelola keadaan bila terjadi krisis kemanan, kedamaian kehidupan masyarakat, apapun penyebabnya, termasuk yang disebabkan oleh krisis politik.
Bersamaan dengan itu, masyarakat harus mendapatkan informasi yang benar, sehingga mampu meningkatkan kewaspadaan dirinya masing masing.
Kepemimpinan yang lemah, informasi yang saling silang, masyarakat yang kebingungan, mengakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara goyah bahkan bisa runtuh. Jika kehidupan masyarakat runtuh, sulit sekali memulihkannya kembali.
Krisis ekonomi dan sosial
Sejarah mencatat, tahun-tahun sebelum terjadinya tragedi September 1965, sosial ekonomi masyarakat Indonesia dalam kondisi yang memprihatinkan. Kondisi menyedihkan ini bahkan berlanjut cukup panjang setelahnya.
Saya pribadi sempat merasakan harus makan tiwul atau sego jagung setiap hari. Ini hanya gambaran betapa beratnya hidup masyarakat menghadapi kehancuran ekonomi nasional.
Lanjutan dari krisis ekonomi adalah krisis sosial. Krisis sosial inilah puncak dari risiko terjadinya krisis keamanan, keadilan dan ketertiban.
Masyarakat akan mudah tersulut perilaku negatifnya. Tekanan perasaan, tekanan atas kewajibannya terhadap keluarga, akan mudah membangkitkan amarah dan melemahkan daya nalar.
Di saat seperti itulah para oknum pengacau, provakor, melihat peluang untuk melancarkan niat jahatnya.
Seperti rumus tak tertulis, didalam kondisi sulit, hampir selalu lahir para penjahat pengambil kesempatan sebagai peluang.
Sejak proses kemerdekaan sampai hari ini, bangsa Indonesia sudah berkali melewati masa gejolak politik.