JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap tak beralasan mengeluarkan permintaan cegah terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto.
KPK meminta pihak imigrasi untuk mencegah Novanto bepergian ke luar negeri pada April 2017.
"Apabila kewenangan termohon dalam pencegahan tidak dalam alasan yuridis, maka tindakan itu sewenang-wenang, berlebihan dan mengada-ada," ujar pengacara Novanto, Agus Trianto saat membacakan poin keberatan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/9/2017).
(baca: Setya Novanto Dicegah ke Luar Negeri)
Agus mengatakan, status Novanto saat itu masih saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan tersangka Andi Narogong.
Menurut dia, belum ada bukti kuat mengenai keterlibatan Novanto dalam kasus itu.
Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penetapan Novanto tersangka baru dilakukan tiga bulan setelah dicegah.
"Tidak berdasarkan alasan objektif. Termohon (KPK) keliru mengeluarkan surat pencegahan mengingat statusnya masih saksi," kata Agus.
(baca: Pihak Setya Novanto Anggap Penetapan Tersangka oleh KPK Tak Punya Dasar Hukum)
Agus mengatakan, selama berstatus saksi, Novanto selalu kooperatif dengan proses hukum. Novanto meluangkan waktunya yang padat untuk memenuhi panggilan penyidik.
"Bahkan mendukung proses hukum yang berjalan. Maka tidak beralasan keluarkan surat pencegahan," kata Agus.
"Hal ini menunjukkan termohon menyalahgunakan kewenangan dengan menggunakan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum," lanjut dia.
(baca: Soal Pemeriksaan, KPK Tunggu Kesehatan Setya Novanto Membaik)
Dalam kasus ini, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.
Saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.