JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa dirinya akan memberikan pendapat dalam sidang uji materi terkait hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia akan menyampaikan pendapatnya di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai ahli hukum yang diajukan oleh DPR selaku pihak pembuat Undang-Undang.
"Ya, memang pernah dihubungi dengan pak Bambang Soesatyo (Ketua Komisi III DPR yang juga anggota Panitia Khusus Hak Angket KPK) dan dari Sekretariat DPR menelepon saya," kata Yusril di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2017).
(baca: Jimly, Yusril dan Romli Jadi Ahli dari DPR Terkait Pansus Angket KPK)
Saat ini, Yusril tengah mencari waktu yang pas untuk berdiskusi bersama DPR.
Diskusi itu guna mengetahui argumentasi pemohon dan juga sanggahan dari DPR terkait penggunaan hak angket terhadap KPK, sebagaimana tertuang dalam pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Jadi saya mesti berdiskusi dulu dan membaca keseluruhan isi dari apa yang diajukan pemohon," kata mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara tersebut.
(baca: Ahli Hukum: Hak Angket KPK Ibarat Nembak Bebek Pakai Meriam)
Menurut Yusril, dihadirkannya ahli dalam persidangan guna menerangkan sesuatu berdasarkan latar belakang keilmuan yang dimiliki.
Oleh karena itu, ahli tidak selalu menguntungkan pihak yang meminta menyampaikan pendapat.
"Tak bisa ngarang-ngarang, ngada-ngada, memperkuat (pihak) sana atau memperlemah (pihak) sini," kata Ketua Partai Bulan Bintang tersebut.
(baca: Ahli Hukum: Hak Angket ke KPK Jaka Sembung Bawa Golok)
Selain Yusril, DPR juga mengajukan dua ahli hukum lainnya guna meyakinkan hakim konstitusi bahwa hak angket juga berlaku terhadap KPK.
Kedua ahli tersebut, yakni mantan ketua MK, Jimly Asshidqie dan guru besar di bidang Ilmu Hukum khususnya Hukum Internasional di Universitas Padjadjaran dan juga mantan kepala Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM (2002-2004), Romli Atmasasmita.
Sebelumnya, Para pemohon uji materi mengajukan gugatan ke MK dengan alasan bahwa hak angket yang tertuang dalam Pasal 79 Ayat 3 UU MD3 hanya berlaku bagi pemerintah, dan tidak ditujukan untuk lembaga lainnya.
Para pemohon, meminta MK mempertegas makna "...dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan" yang ada di dalam pasal tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.