JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli Hukum Pidana Universitas Gajah Mada Edward Omar Sharif Hiariej menilai surat dari pimpinan DPR yang dikirim Sekretariat Jenderal DPR RI ke KPK yang meminta penundaan penyidikan Setya Novanto, sebagai bentuk intervensi.
"Saya mau mengatakan bahwa tidak pada tempatnya DPR mengirim surat seperti itu. Karena itu mereka itu sudah mengintervensi proses hukum," kata Edward saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/9/2017).
Seperti diketahui, poin penting yang diminta jadi bahan pertimbangan dalam surat ini yakni agar KPK menghormati proses praperadilan yang diajukan.
Sidang perdana praperadilan Novanto diketahui sudah berlangsung Selasa (12/9/2017).
Menurut Edward, dalam ketentuan KUHAP tidak ada aturan seperti itu. Jika praperadilan sedang berjalan, penyidikan tidak harus dihentikan.
Praperadilan juga, menurut dia, menjadi gugur apabila pokok perkara kasusnya sudah dilimpahkan ke pengadilan, sesuai ketentuan yang terdapat pada Pasal 82 KUHAP.
"Jadi tidak pada tempatnya dan permintaan seperti itu tidak dikenal dalam hukum acara," ujar Edward.
Menurut Edward, proses penyidikan itu dibatasi waktu. Sehingga pemeriksaan di penyidikan harus dilakukan dan itu dibenarkan dalam hukum acara.
"Gimana caranya dia menetapkan orang sebagai tersangka kalau dia tidak periksa, makanya pemeriksaan itu harus cepat dilakukan tidak boleh ditunda," ujar Edward.
Soal dalih pimpinan DPR agar KPK mengedepankan asas praduga tak bersalah, dirinya menilai hal itu sebagai pemahaman yang keliru. Sebab, asas praduga tak bersalah, kata dia, pada dasarnya merupakan asas yang dipakai oleh hakim yang memeriksa perkara di pengadilan, agar hakim punya pikiran yang jernih dan menganggap bahwa seseorang itu belum tentu bersalah.
"Tetapi kalau penyidik dan penuntut umum, dia melakukan pemeriksaan itu asas praduga tak bersalah itu dipakai sebagai sesuatu hal yang bersifat legal normatif, tetapi bukan berdasarkan deskripsi faktual, bukan. Jadi itu orang tidak paham saja sebetulnya," ujar Edward.