JAKARTA, KOMPAS.com - Memasuki tiga tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, silang pendapat masih saja terjadi. Kali ini, terjadi silang pendapat terkait Komisi Pemberantasan Korupsi.
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa KPK harus terus diperkuat. Hal ini disampaikan Presiden kepada wartawan, Minggu (10/9/2017), menanggapi usul pembekuan KPK yang disuarakan politisi PDI-P Henry Yosodiningrat.
"Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah. Oleh sebab itu kita harus sama-sama menjaga KPK," ujar Jokowi.
Namun, sehari setelahnya, Jaksa Agung HM Prasetyo justru melontarkan pernyataan yang bisa melemahkan KPK.
(Baca juga: Presiden, Jaksa Agung, dan Usulan Amputasi Kewenangan KPK...)
Dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (11/9/2017), Jaksa Agung meminta agar kewenangan penuntutan tindak pidana korupsi KPK dihilangkan.
Mantan anggota DPR dari Partai Nasdem tersebut meminta agar wewenang penuntutan yang dimiliki KPK dikembalikan sepenuhnya ke Korps Adhyaksa.
Menurut dia, Indonesia perlu berkaca pada pemberantasan korupsi di Malaysia dan Singapura. Meski kedua negara memiliki aparat penegak hukum khusus untuk memberantas korupsi, kewenangan penuntutan tetap berada pada kejaksaan.
"Baik KPK Singapura dan Malaysia terbatas pada fungsi penyelidikan dan penyidikan saja. Dan meskipun KPK Malaysia memiliki fungsi penuntutan tapi dalam melaksanakan kewenangan tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu ke Jaksa Agung Malaysia," ujar Prasetyo.
(Baca: Jaksa Agung Minta Fungsi Penuntutan Tipikor Dikembalikan ke Kejaksaan)
Banyak pihak menilai pernyataan ini bertentangan dengan semangat Jokowi untuk memperkuat dan menjaga KPK.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung pun menilai, pernyataan Jaksa Agung tidak mencerminkan sikap Presiden Jokowi.
"Tidak ada keinginan dari Presiden untuk mengurangi kewenangan KPK," kata Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Saat ditanya lebih jauh mengenai perbedaan sikap ini, Pramono enggan berkomentar lebih jauh. Ia langsung mengakhiri sesi wawancara dengan media.
"Tidak usah ditafsirkan macam-macam," tutur Pramono.
(Baca: Bantah Jaksa Agung, Istana Pastikan Jokowi Tak Ingin Kurangi Wewenang KPK)
Jika ditilik selama tiga tahun ke belakang, silang pendapat di internal pemerintah mengenai isu tertentu sudah terjadi berulang kali. Berikut daftarnya.
1. Proyek pembangkit listrik 35.000 MW
Beda pendapat terjadi antara Menteri ESDM Sudirman Said dan Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Keduanya saat ini sudah tidak menjabat.
Rizal menganggap proyek tersebut tidak realistis. Rizal juga menyebut perubahan target dari 35.000 MW menjadi 16.000 MW. Sebaliknya, Sudirman tetap optimistis proyek tersebut bisa diwujudkan.
2. Perpanjangan kontrak Freeport
Beda pendapat lagi-lagi terjadi antara Sudirman Said dengan Rizal Ramli. Sudirman menyebut pemerintah sudah merestui perpanjangan kontrak Freeport. Sementara Rizal mengatakan, perpanjangan kontrak Freeport belum dibahas.
3. Impor beras
Beda pendapat terjadi antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat Thomas Lembong.
Andi mengatakan, selama setahun kepemimpinannya di bidang pertanian, Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Namun, Thomas mengatakan, pemerintah masih melakukan proses negosiasi terkait rencana impor beras dari Vietnam dan Thailand.
4. Kereta cepat
Beda pendapat terjadi antara Menteri Perhubungan yang saat itu dijabat Ignasius Jonan dengan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Rini mendorong percepatan proyek. Namun, Jonan berusaha menjaga agar tidak ada hal yang dilanggar terkait perizinan yang belum jelas dari proyek ini.
5. Blok Masela
Ini merupakan beda pendapat kali ketiga antara Sudirman Said dengan dan Rizal Ramli.
Sudirman mendukung kilang gas Masela terapung di laut. Sementara Rizal menginginkan pembangunan kilang gas di darat karena lebih murah dan memberi dampak ekonomi besar bagi masyarakat Maluku.
6. Garuda Indonesia
Polemik terjadi antara Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi yang saat itu dipegang Marwan Jafar dengan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Awalnya, polemik itu terkait pernyataan Marwan yang meminta direksi Garuda Indonesia diganti karena dinilai mengecewakan.
Pramono kemudian menyindir lewat media sosial bahwa masih ada pejabat yang minta dilayani berlebihan. Meski demikian, Pramono tidak menyebut secara langsung pejabat yang dimaksud.