JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Salman menegaskan bahwa setiap organisasi kemasyarakatan, baik domestik maupun asing, harus memiliki daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
Daftar tersebut dikeluarkan oleh pihak kepolisian berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut, Salman, hal itu dilakukan untuk mencegah adanya aliran dana untuk membiayai tindakan terorisme.
"Ormas tidak boleh memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang juga konkretnya ada di daftar yang dikeluarkan oleh kepolisian berdasarkan penetapan PN Jakpus. Daftar terduga teroris dan organisasi teroris," ujar Salman usai menghadiri Sosialisasi Ketentuan Pemerintah dan Direktori Organisasi Kemasyarakatan Asing di Indonesia, di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (12/9/2017).
"Nah ini oleh NPO (non-profit organization) baik asing maupun domestik, harus dipegang. Jangan sampai dananya tersalur ke pihak-pihak tersebut dan juga jangan sampai menerima dari pihak-pihak yang terlibat," kata dia.
(Baca juga: Pemerintah Pantau Ormas Asing Terkait Potensi Pendanaan Terorisme)
Salman tidak memungkiri adanya aliran dana dari luar dan dalam negeri yang digunakan untuk membiayai kelompok-kelompok teroris tertentu.
Namun, Salman tidak bisa menyebutkan berapa kelompok teroris di Indonesia yang menerima aliran dana tersebut. Dia juga enggan menyebutkan berapa jumlah aliran dana yang berhasil ditelusuri oleh PPATK.
"Kalau berdasarkan data Densus memang seperti itu. Tapi jumlahnya tidak bisa saya sebutkan," ucapnya.
Salman pun mengungkapkan bahwa pemerintah telah meningkatkan pengawasan terhadap organisasi kemasyarakatan untuk mencegah potensi pendanaan terorisme.
(Baca juga: Cegah Pendanaan Terorisme, PPATK Awasi Aliran Dana ke Yayasan)
Saat ini, kata Salman, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pemberian Sumbangan oleh Organisasi Kemasyarakatan dalam Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
"Dengan adanya perpres, tujuannya menunjukkan kehati-hatian. Kami harus tahu siapa yang memberikan sumbangan kepada NGO dan kepada siapa akan menyalurkan sumbangan," kata Salman.
Menurut Salman, ormas asing maupun dalam negeri memiliki potensi melakukan penggalangan dana untuk mendanai kelompok teroris tertentu.
Penggalangan dana tersebut bisa dilakukan melalui cara yang legal, misalnya berupa sumbangan, dan cara ilegal, seperti pencurian.
"NPO (non-profit organization) menerima dana dari mana saja. Bisa saja simpatisan, menghimpun dana kemudian menyalurkan sumbangan ke kelompok terorisme," tuturnya.
"Kegiatan legal juga bisa menjadi potensi pendanaan terorisme misal sumbangan, bisa juga dari sumber ilegal misal pencurian," kata Salman.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, hingga Juli 2017 tercatat ada 83 ormas asing. Selain itu terdapat pula 13 ormas asing pelaksana kerja sama yang telah terdaftar secara resmi dan secara legal beroperasi di Indonesia.