JAKARTA, KOMPAS.com - Kegelisahan terpancar di lebih dari 200 pastor saat menunggu kedatangan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan rombongan, di Malang, Jawa Timur, pada Desember 1996.
Wajar saja ekspresi mereka gelisah, karena beberapa bulan sebelumnya di Situbondo, 22 gereja dan bangunan keagamaan dirusak dan dibakar dalam waktu sehari. Para pastor itu berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Mereka mengundang Gus Dur untuk berbicara dalam seminar di sebuah sekolah teologi. Sebenamya sebanyak 400 orang yang meminta hadir, tetapi tempat pertemuan di sekolah teologi itu tidak memungkinkan.
Di atas podium tertulis, "Seminar Studium General". Dan di bawahnya tertulis lagi, "Membangun Persaudaraan Sejati".
Saat menjadi pembicara di seminar tersebut, Gus Dur berbicara tanpa teks. Salah satu ceramahnya pada saat itu ia mengeluh orang beragama Islam hanya tahu sedikit tentang bahasa Arab, tetapi merasa tahu segalanya. Pengetahuan agamanya jauh lebih baik para ulama dahulu, tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri.
(Baca: "Malam-malam Kangen Gus Dur", Puisi dari Seorang Pastor)
"Orang Islam tidak lagi mau menggunakan kata minggu, mereka memilih kata ahad. Tetapi, saya katakan kepada Anda kita tidak akan lebih baik dalam ber-Islam meskipun kita memilih kata ahad bukan minggu,” kata Gus Dur.
Sebagaimana biasanya, ceramah Gus Dur penuh dengan lelucon. Dia menambahkan lelucon lagi.
"Sesungguhnya, mungkin orang-orang Nasrani berhenti saja pergi ke gereja di hari Minggu, sehingga ahad menjadi lebih Islam lagi," ujar Gus Dur.
Dengan ceramah yang penuh lelucon itu, dia berhasil mengatasi ketegangan para pastor.
Kisah Gus Dur itu ditulis oleh Andree Feillard, salah satu penulis dalam buku berjudul "Gila Gus Dur". Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit LKIS.
Orator ulung
Gus Dur adalah orator yang berbakat. Dia bisa tiba-tiba mengalihkan uraian yang kaya fakta-fakta yang dramatik ke anekdot yang penuh humor, dan kemudian kembali ke kesimpulan yang serius.
Ia pandai membuat lelucon terutama dalam bahasa Jawa. Ini seni yang merupakan keahliannya yang menonjol.
Duduk di atas podium, Gus Dur melanjutkan ceramahnya tentang birokratisasi, otokrasi Soeharto, dan politisasi agama. Gus Dur saat itu mengeluhkan label halal yang diinginkan MUI terhadap produk makanan.