JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Masinton Pasaribu memahami keresahan yang dirasakan Repdem Jawa Timur akan tulisan pemilik akun Facebook bernama Dhandy Dwi Laksono yang dianggap mengandung unsur sarkasme.
Akun tersebut memuat opini yang menyamakan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dengan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Atas hal tersebut, Masinton meminta Dandhy meminta maaf kepada Megawati.
"Agar saudara Dhandy Laksono juga dapat memahami reaksi kader Repdem dan bisa menyampaikan klarifikasi serta permohonan maafnya kepada Ibu Megawati Soekarnoputri," kata Masinton melalui keterangan tertulis, Kamis (7/9/2017).
Anggota Komisi III DPR itu menegaskan organisasinya berkewajiban untuk membela kehormatan Megawati sebagai pimpinan partai dari tudingan-tudingan tak berdasar yang diduga untuk mendiskreditkan.
Meski begitu, ia meminta tak ada pihak yang memanfaatkan persoalan ini.
"Kami juga meminta agar pihak-pihak lain bisa memahami dan tidak mempolitisasi persoalan ini," tuturnya.
Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), organisasi sayap PDI-P melaporkan pemilik akun Facebook bernama Dhandy Dwi Laksono ke Polda Jatim, Rabu (6/9/2017).
(Baca: Kasus Penghinaan Megawati, Polda Jatim Selidiki Akun Facebook Dandhy)
Dandhy menulis opini berjudul "San Suu Kyi dan Megawati", yang menyamakan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dengan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Dalam tulisannya, Dandhy menilai sikap Suu Kyi yang dinilai abai terhadap krisis kemanusiaan di Rohingya memunculkan kekecewaan. Apalagi, sebelumnya Aung San Suu Kyi dinilai sebagai aktivis demokrasi di Myanmar.
Kekecewaan yang sama, menurut Dandhy, diperlihatkan Megawati. Jika di era Orde Baru Megawati dikenal sebagai aktivis demokrasi, tetapi Megawati yang kemudian menjadi presiden dianggap tidak melakukan pendekatan yang baik dalam menangani konflik di Aceh dan Papua.
Dandhy menilai, sikap Megawati dan Aung San Suu Kyi memunculkan kekecewaan, sebab keduanya pernah dikenal sebagai simbol perjuangan di demokrasi di negaranya masing-masing.
Tulisan yang dimuat di situs berita itu disebar melalui Facebook Dhandy pada 4 September 2017.
Dandhy yang kini dikenal sebagai sutradara film dokumenter tidak menyangka tulisannya itu menimbulkan polemik hingga dia dilaporkan ke polisi.
Dia khawatir aksi kelompok partisan politik itu sebagai bentuk represi baru bagi kebebasan berpendapat.
"Jika benar demikian, maka itu ancaman bagi demokrasi," ujar dia.
(Baca: Dilaporkan ke Polisi karena Tulisan, Dandhy Sebut Bentuk Represi Baru)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.