JAKARTA, KOMPAS.com - Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) pada Selasa (5/9/2017) siang, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mengevaluasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dana Desa.
Hadir dalam RDP tersebut perwakilan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan Agung RI, Kepolisian Republik Indonesia, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah regulasi yang tumpang tindih.
Menurut Asisten Khusus Jaksa Agung Asep Nana Mulyana, regulasi yang tumpang tindih banyak ditemukan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Desa.
Baca: Staf Khusus Presiden: Banyak Penyimpangan Dana Desa di Papua
Di sisi lain, banyak aturan main soal dana desa.
Ia menyebutkan, setidaknya ada lima peraturan pemerintah di bawah UU, ditambah 13 aturan setingkat menteri (peraturan menteri) sebagai payung hukum pelaksanaan pengelolaan dana desa.
"Orang desa sampai bingung bagaimana menatalaksanakan keuangan dana desa. Aturan sedemikian banyak dan rigid," kata Asep.
Dia berharap, aturan pengelolaan dana desa ke depan bisa lebih harmonis baik secara vertikal maupun horizontal.
Senada dengan Asep, Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, dari hasil Litbang KPK 2015 tentang dana desa ditemukan regulasi yang tumpang tindih antara Kemendagri dan Kemendes.
Baca: Menyelamatkan Dana Desa, Melunasi Janji Kemerdekaan
Selain soal regulasi yang kurang sejalan, hasil kajian KPK menemukan masalah pengawasan yang belum optimal.
Ketersediaan inspektorat kabupaten sangat terbatas, hanya sekitar 20-30 orang.
Padahal, pada satu kabupaten rata-rata ada 100 desa.
Belum lagi untuk melakukan pengawasan di desa-desa ini dibutuhkan biaya yang mahal.
"Sejak 2015 bisa dibilang alarm sudah nyala. Kalau mau dibilang pengawasan memang enggak ada (tidak optimal)," ujar Pahala.
Lantas bagaimana dengan penggunaan aplikasi untuk monitoring penyaluran dan pengawasan dana desa?