JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) belum akan mengeluarkan putusan provisi atau putusan sela atas gugatan uji materi soal hak angket yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, para hakim masih perlu mendengarkan keterangan semua pihak untuk membuat kesimpulan perlu atau tidaknya MK mengeluarkan putusan provisi.
"Jadi, kenapa kami belum memutus provisi karena belum mendengarkan semua pihak," kata Arief, dalam persidangan uji materi terkait hak angket KPK yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Sebelumnya, putusan provisi diminta oleh Tim Advokasi Selamatkan KPK dari Angket DPR selaku pemohon dengan nomor perkara 47/PUU-XV/2017.
Baca: ICW Berharap Putusan Sela Uji Materi Hak Angket Segera Dikeluarkan MK
Putusan provisi perlu segera diterbitkan agar proses angket oleh Pansus Hak Angket DPR RI terhadap KPK berhenti untuk sementara, selama uji materi masih berlangsung di MK.
Dengan demikian, putusan final MK atas permohonan yang diajukan pihaknya bisa menjadi sia-sia.
MK meminta para pemohon untuk bersabar dan menunggu putusan hakim setelah mendegarkan keterangan seluruh pihak.
"Untuk bisa dimengerti para pemohon," kata Arief.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, putusan provisi pernah diterapkan MK, yakni sebelum menjatuhkan putusan akhir dalam perkara 133/PUU-VII/2009 tertanggal 28 Oktober 2009 dalam pengujian UU 30/2002 tentang KPK yang diajukan oleh mantan Pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (Bibit-Chandra).
Fajar menjelaskan, relevansi putusan sela dalam pengujian undang-undang adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM apabila suatu norma hukum diterapkan, sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan. Padahal, hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan melalui putusan akhir.
Dalam perkara yang diajukan Bibit-Chanda, MK tidak mengabulkan seluruh permohonan putusan provisi.
"Menurut pertimbangan MK, yang bisa dilakukan MK adalah menunda penerapan Pasal 30 ayat (1) huruf c jo Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden, tindakan administratif pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan," kata Fajar.