JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa Hukum Pemohon uji materi nomor perkara 88/PUU-XIV/2016, Irman Putra Sidin menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY (UU KDIY) membuka batasan bahwa yang berhak menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanyalah laki-laki.
Dalam putusannya, MK menyatakan kata "istri" dalam aturan penyerahan daftar riwayat hidup oleh calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Apakah itu perempuan, apakah laki-laki itu berhak menjadi Gubernur dan berhak menjadi Wakil Gubernur," kata Irman, di MK, Jakarta, Kamis (31/8/2017).
Sebelum adanya putusan MK, menurut Irman, aturan tersebut dapat dikatakan diskriminatif. Pasalnya, dengan adanya kata "istri" maka dapat diasumsikan bahwa yang diperbolehkan menjadi calon pemimpin DIY adalah laki-laki.
"Ini adalah pasal yang diskriminatif melanggar hak-hak perempuan," kata Ahli Hukum Tata Negara tersebut.
(Baca: Hapus Kata "Istri", MK Beri Peluang Perempuan Jadi Gubernur Yogyakarta)
Ia menambahkan, putusan MK itu juga memberikan kepastian hukum bagi perempuan yang ingin menjadi calon Gubernur atau Wakil Gubernur DIY.
"Itu menjadi pesan penting bahwa di Indonesia tidak ada lagi diskriminasi bagi perempuan untuk menjadi raja, ratu atau semacamnya, karena konstitusi tidak melarang," kata Irman.
Sebelumnya, MK menerima permohonan uji materi yang diajukan oleh belasan warga Yogyakarta. Kepada MK, mereka meminta agar kata "istri" dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menilai, adanya kata "istri" berpotensi dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketentuan yang berlaku pada pasal tersebut bersifat akumulatif atau dengan kata lain, semua persyaratan yang ada di dalam pasal harus terpenuhi.
Namun pada saat bersamaan, tidak menutup kemungkinan terjadi keadaan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Kemudian, ketentuan tersebut bertentangan dengan semangat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menyebut bahwa Negara menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
(Baca: Budi Waseso Sebut Jaringan Narkoba Sasar Yogyakarta)
Menurut Mahkamah, Pasal 18 ayat 1 huruf c UU KDIY menyatakan bahwa "bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur" merupakan salah satu syarat.
Adanya kriteria tentang siapa yang berhak atau memenuhi syarat untuk jabatan tersebut merupakan urusan internal Kasultanan dan Kadipaten yang oleh UUD 1945 maupun UU KDIY sendiri diakui sebagai bagian dari keistimewaan DIY.
Oleh karena itu, mengenai siapa yang berhak atau memenuhi syarat sebagai Sultan Hamengku Buwono atau Adipati Paku Alam ditentukan oleh hukum yang berlaku di Kasultanan dan di Pakualaman.
Selain itu, Mahkamah menilai bahwa adanya kata "istri" membuat aturan tersebut diskriminatif. Menurut Mahkamah, dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, tidak ada gagasan moral yang terganggu atau terlanggar jika perempuan menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.