TANAH tandus bebongkah-bongkah. Padang pasir seluas Sahara, terhampar di hadapan sejauh mata memandang.
Semuanya seperti tak berdaya bila hidup berlama-lama di kota ini. Panas menyengat hingga ke ubun-ubun kepala.
Hati jadi nanar membayangkan perjuangan seorang hamba utusan Tuhan saat berdakwah, berkhotbah, dan memberi penyadaran tauhid ajaran agama kepada kaum jahilliyah masa itu.
Seseorang berbisik dengan suara yang sebenarnya terdengar lantang di telinga saya. “Kalian bayangkan betapa keras dan susahnya, saat Nabi maupun Rasul utusan Allah SWT menapak kaki dengan unta, membumikan wahyu agama langit. Penentangan kaum jahilliyah terhadap upaya memporak-porandakan berhala yang disembah nenek-moyang mereka, dibalas pula dengan cara tak pernah putus asa mengolok-olok bahkan mencelakakan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, maupun Muhammad Rasulullah SAW,” kata pria bersorban putih.
Perawakannya tinggi besar. Suara tawanya renyah. Ia bukan pembimbing ibadah kami. Seperti saya, ia juga mendapat undangan ke Tanah Suci. Saat itu saya tidak mengenal namanya, lagi pula tidak pernah punya urusan dengan dirinya.
Baca juga: Uang Jemaah First Travel Dipakai untuk Fashion Show Anniesa Hasibuan di New York
Kami telah melewati Mina, Muzdalifah, dan Arafah. Saatnya kami mengelilingi bangunan yang mendekati bentuk kubus di tengah Masjidil Haram di Kota Mekkah al-Mukarahmah.
Labbaika Allahumma Labbaik. Aku tunduk kepada-Mu setelah ketundukan. Pertahanan diri saya jebol. Suara tangis meruak layaknya air bah dicurahkan langit.
Sudah lama saya tidak menangis. Sudah lama hati saya mengeras layaknya bongkahan batu sangat kokoh. Sudah lama saya bersenggama dengan ambisi saya buat mengejar karir dan pendapatan bagi pundi-pundi keuangan keluarga.
Kali ini saya harus takluk, tangis pecah membahana tak ubah kanak-kanak menangis saat terpencar dari ayahnya di tengah keramaian pasar. Di tengah keharuan yang menyeruak tanpa mampu saya bendung, saya mendekat ke pusat pusaran, dan menjejakkan kepala ke dalam Hajar Aswad.
Saya berdoa bagi orang yang sangat saya cintai: ibunda dan papa yang sudah lama berpulang menghadap Ilahi.
Di sela-sela jeda melaksanakan ibadah, rombongan kami sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang berbelanja ke Pasar Seng yang legendaris. Ada yang tekun melaksanakan ibadah salat lima waktu di Masjidil Haram.
Ada yang leyeh-leyeh menikmati nyamannya hotel InterContinental Dar Al Tawhid tempat menginap yang hanya sepenggalan galah ke Masjidil Haram. Tapi yang membuat saya terperangah, bukan pada sosok orang dari bangsa-bangsa asing beribadah.
Bukan pada seorang jenderal purnawirawan yang masih gagah dalam rombongan kami. Bukan pada sosok artis molek yang ikut memenuhi seruan Ibrahim. Tapi pada sosok bersahaja, humble, dan sangat memperhatikan keluhan jemaaah yang ia layani.
Bukan hanya ia seorang yang melayani kami. Tapi istrinya, dan seorang anak perempuan remaja, ikut bekerja secara langsung bahu-membahu.
Mereka menggalang tenaga tanpa ewuh pakewuh sebagai owner perusahaan jasa, bahkan tak tersirat kesan ada ketinggian hati saat melayani jemaaahnya. Padahal saya tahu, ia pemilik travel haji dan umrah termashur di Tanah Air tahun 2003.
Belakangan ini, saat orang-orang merasa miris, kecewa, melontarkan kutukan, dan sumpah-serapah lainnya, hati saya tergoda ingin tahu lebih jauh. Sebuah angka yang maha dahsyat pun terungkap kepada khalayak, betapa spetakuler dana masyarakat terkumpul, dan kini tak dapat ia pertanggungjawabkan.
Konon, mendekati angka 60 ribu jemaaah lagi belum bisa diberangkatkan sebagai kewajiban korporasi. Gaya hidup jetset pun membuat orang terperanjat dengan sosok pengendali travel ibadah haji dan umrah yang dikelola suami-istri ini.
Dalam hati, sungguh kontrakdiksi yang sangat tajam. Di satu sisi, sosok sederhana yang saya kenal saat itu, Fuad Hasan Mansyur, pemilik sebuah travel perjalanan haji yang ternama, yang jemaaahnya juga ribuan orang tiap tahun.
Meski sudah puluhan tahun berkeringat melayani jemaah sejak 1986, ia tetap sosok bersahaja, murah senyum, dan jauh dari kesan glamour. Saat anak dan istrinya ikut turun langsung melayani jemaah sebagai contoh kecil betapa ia tawaddu menjalani usaha.
Jauh berbeda dengan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan pemilik First Travel yang tak dapat bertanggung jawab atas dana ratusan miliar rupiah dari kliennya. Hati saya pilu, perih, menjerit sampai ke titik nadir.