JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengaku bahwa lembaganya sudah tidak menjalin kerja sama secara resmi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perlindungan saksi.
Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara LPSK dengan KPK sejak 2015.
"Yang pertama memang betul, LPSK sudah ada MoU dengan KPK dan itu sejak 2010, yang terakhir sebenarnya 2015," ujar Haris dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Khusus Angket KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/8/2017).
Ia mengatakan, LPSK sudah mengajukan kembali penandatanganan MoU dengan KPK. Namun, hingga saat ini ia mengaku belum mendapat respons dari KPK.
Haris juga mengaku tidak pernah diajak berkoordinasi secara rutin dengan KPK terkait perlindungan saksi.
"Dan untuk pimpinan KPK sebelumnya sebelum periode sekarang beberapa kali kami ada pertemuan dan kami juga sampaikan berbagai hal terkait perlindungan saksi," tutur Haris.
"Namun untuk pimpinan periode sekarang khususnya Pak Agus (Rahardjo) ya, sudah kami ajukan surat untuk istilahnya kami ada pertemuan antarpimpinan, namun sampai sekarang belum terealisir," kata dia.
(Baca juga: Ketua LPSK: Tak Semua Saksi Tipikor Diserahkan KPK)
Sebelumnya, Haris juga mempermasalahkan perihal safe house atau rumah aman yang dikelola KPK. Dia menilai kewenangan pengelolaan safe house berada di bawah LPSK.
Menurut dia, hal itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Korban dan Saksi.
(Baca: LPSK: Kami yang Memiliki Kewenangan Mengelola "Safe House")
KPK sudah membantah anggapan yang menyatakan penggunaan safe house untuk melindungi saksi disebut ilegal. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, penggunaan safe house bagi saksi terkait penanganan perkara sudah berlandaskan aturan hukum.
(Baca: KPK Pastikan "Safe House" Berlandaskan Aturan Hukum)