WARTAWAN senior pendiri harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis, boleh jadi tak menyangka jika orasi kebudayaannya pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menjadi salah satu manuskrip permanen (scripta manent).
Puluhan tahun dari itu, sekiranya jika kita berkaca dari kasus First Travel, tetap relevan salah satu ciri khas manusia Indonesia dalam orasi tersebut: cenderung kurang sabar, tukang menggerutu, cepat dengki, tidak hemat, lebih suka tidak bekerja keras kecuali terpaksa.
Maka, betapa hedonistiknya suami-istri pemilik biro umrah berkasus, First Travel, hingga syak-prasangka uang jemaah jadi sumber biaya ikut pameran adibusana di banyak negara, kiranya terus menjadi trending topic khususnya pada warganet dan atau percakapan luring.
Tak habis kata kalimat laku bincang tadi, termasuk analisis tiada berkesudahan, sesungguhnya bisa menjadi perangkap kita semua; Min sharril was wasil khanna's, sebuah kejahatan bisikan (syaitan) yang biasa bersembunyi, sehingga kita lupa mereguk hikmah.
Tajassus (mencari-cari salah), gibah (bergunjing), dan namimah (mengadu domba) akhirnya menjadi bagian yang lebih sering muncul kini jika mendengar nama First Travel, seraya kita melupakan mengaitkannya dengan mengambil hikmah peristiwa (ibroh).
Baca: First Travel dan Skema Ponzi
Maka itu, pada momentum emas awal Dzulhijjah sekaligus mendekati prosesi puncak ibadah haji tahun ini, marilah kita bersama menangguk hikmah bijaksana dari kasus umrah tersebut dengan sedikitnya merancang tiga sikap.
Pertama, malu-lah mereka Muslim yang berkecukupan, sangat mampu membayar haji apalagi umrah, namun harta berkecukupan di tangannya itu hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga demi mengejar ambisisi duniawi tak berkesudahan.
Banyaknya hingga puluhan ribu jemaah yang sudah membayar ke First Travel, bahkan untuk seluruh anggota keluarganya (sekalipun tak kunjung pergi), jelas mengisyaratkan pengorbanan dan tekad kuat beribadah di jalan-Nya tanpa satu anggota keluarga pun ketinggalan.
Dengan sifat dunia yang danaa (dekat), betul bahwa seluruhnya berproses serba cepat tak terasa. Yang tadinya segar bugar gagah, seperti banyak kita saksikan, tanpa terasa sudah setengah abad dengan raga fisik tak lagi kuat.
Pun, demikian pula titipan harta. Sebagai sebuah amanah, sifat danaa membuatnya bisa berlimpah terus meruah tiap detik dan atau malah sama sekali miskin tak bersisa tergantung bagaimana kita mengelola kepercayaan Allah SWT.
Baca: Modus First Travel, dari Umrah Murah hingga Minta Endorse Artis
Maka, seraplah spirit berlomba-lomba meng-umrah-kan keluarga First Travel tersebut, yaitu dengan memulai membuka tabungan haji bagi siapapun yang merasa telah berkecukupan seraya menekan seluruh keinginan duniawi yang melenakan.