JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu angkat bicara soal terungkapnya safe house atau rumah aman yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rumah aman untuk saksi ini terungkap setelah Panitia Khusus Angket KPK di DPR menghadirkan saksi dalam kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
"Kami baru tahu kalau KPK punya safe house setelah Pansus Angket KPK mengungkapnya," kata Edwin di Jakarta, Selasa (15/8/2017).
Menurut Edwin, regulasi tentang rumah untuk perlindungan saksi diatur dalam dua undang-undang, yaitu UU Pemberantasan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Akan tetapi kata dia, polemik antara Pansus Angket KPK dengan KPK terkait safe house seharusnya dapat menjadi bahan untuk mengevaluasi perlindungan saksi, khususnya dalam tindak pidana korupsi.
Edwin juga berpendapat, seharusnya perlindungan saksi harus dilakukan lembaga khusus untuk menghilangkan adanya konflik kepentingan.
"Jadi program perlindungan saksi harus terpisah dan tidak ditangani pihak yang melakukan penyidikan. Penting agar tidak ada konflik kepentingan, baik dari pihak penyidik maupun saksi yang dilindungi," ucap Edwin.
(Baca juga: Rumah Ini Pernah Jadi "Safe House" KPK, seperti Apa Penampakannya?)
KPK sendiri mengatakan bahwa safe house itu memiliki dasar hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Oleh karena itu, KPK membantah jika penggunaan safe house untuk melindungi saksi disebut ilegal.
"Sesuai undang-undang, KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada saksi wajib memberikan tempat kediaman sementara kepada saksi yang dilindungi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (10/8/2017).
(Baca: KPK Pastikan "Safe House" Berlandaskan Aturan Hukum)