JAKARTA, KOMPAS.com – Angka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diyakini semakin tinggi jumlahnya, dengan modus yang beragam bahkan cenderung sadis. Selain proses pidana terhadap pelaku, pemulihan korban menjadi sesuatu yang tak kalah penting.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, sama seperti korban kejahatan lainnya, pemulihan dan pemenuhan hak korban KDRT, mulai pemberian bantuan medis, psikologis dan psikososial menjadi perhatian yang tak boleh dikesampingkan.
Salah satu terobosan yang gencar dilakukan LPSK yakni memfasilitasi korban KDRT mendapatkan restitusi atau ganti rugi dari pelaku.
"Pada beberapa kasus, permohonan restitusi korban KDRT membuahkan hasil, seperti pada kasus KDRT dengan pelaku anggota DPR. Terbaru, kasus KDRT dengan korban asisten rumah tangga bernama N yang mendapatkan ganti rugi dari pelaku sebesar Rp150 juta," kata Semendawai dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/8/2017).
Saat ini, menurut LPSK, permohonan restitusi bagi korban KDRT mulai mendapatkan perhatian dari aparat penegak hukum, di mana jaksa penuntut umum mulai memasukkannya ke dalam tuntutan.
Bahkan, majelis hakim yang menyidangkan kasus KDRT juga sudah ada yang mempertimbangkan pemberian restitusi dari pelaku dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku KDRT.
"Kondisi ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana untuk mendapatkan restitusi dari pelaku, korban KDRT harus melalui peradilan perdata yang memerlukan waktu dan biaya. Namun, kini, hal itu tidak perlu dilakukan karena proses permohonan restitusi sudah bisa dilakukan berbarengan dengan peradilan pidana (penggabungan)," kata Semendawai.
(Baca juga: LPSK Keluhkan Minimnya Anggaran untuk Perlindungan Saksi dan Korban)
Adapun Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani mengatakan, dalam kasus KDRT, perhatian lembaganya tidak semata-mata pada proses pidana saja, melainkan juga bagaimana proses pemulihan korban. Ini termasuk dalam memfasilitasi mereka mendapatkan restitusi.
Hanya saja, dalam Undang-Undang (UU) Pemberantasan KDRT, tidak disebut secara implisit mengenai restitusi. Ini berbeda dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
"Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, restitusi menjadi salah satu hak korban kejahatan, termasuk tindak pidana KDRT," kata Lies.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.