Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Susi Pudjiastuti Bicara Perbedaan dengan Kalla hingga Isu Kartel

Kompas.com - 04/08/2017, 09:52 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Perbedaan pendapat antara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal moratorium kapal pada 2016 lalu, disinggung kembali dalam wawancara Rosiana Silalahi kepada Susi pada acara "#SusidiRosi" yang ditayangkan Kompas TV, Kamis (3/8/2017) malam.

Sebagai pengingat, pada 22 Maret 2016 Wapres Kalla mengirimkan surat kepada Susi. Melalui surat itu, Kalla meminta Susi untuk mengevaluasi kebijakan moratorium kapal penangkap ikan.

Menurut Kalla, kebijakan itu mengakibatkan ribuan nelayan besar, baik eks asing atau milik warga negara Indonesia tidak bisa berlayar dan menangkap ikan. Akibatnya produksi ikan menurun. Ekpsor juga menurun.

Terjadi pula pengangguran pekerja di kapal dan pabrik pengolahan serta cold storage.

Berikut petikan tanya jawab Susi dengan Rosi terkait hal itu:

Rosi: Tahun lalu, Wapres Jusuf Kalla menulis surat kepada Ibu Susi bahwa kapasitas produksi industri pengolahan ikan di Tual anjlok sampai 85 persen karena kebijakan Ibu. Ada komentar?

Susi: Industri yang ada di Tual, Wanam, Ambon, itu dari dulu kosong cold storage-nya. Kapalnya ratusan. Karena kapalnya tangkap ikan, langsung diolah di atas kapal, bawa pergi.

Tidak ada pajak, tidak ada apa-apa. Tidak ada yang masuk (ke kas pemerintah daerah atau pusat). Contohnya (Susi menyebut satu perusahaan pengolahan ikan) dari Provinsi Maluku punya omzet USD 3,5 miliar. Paling tidak, 70-90 persen itu dari laut Maluku. Sementara PAD-nya Maluku itu cuma 8,7 miliar.

Tidak ada di situ investasi. Yang di Ambon, cold storage-nya juga punya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang disewa oleh PT Mabiru (Mabiru Industry) dan Benjina (PT Pusaka Benjina Resources).

Mereka terlibat perbudakan juga. Ya harus kita tutup. Kalau tidak, dunia akan memboikot produk Indonesia. Benjina juga tunggakan pajaknya banyak. Jadi heran, yang mati itu yang mana? Jadi heran.

Begini ya, waktu illegal fishing itu mulai marak di Indonesia dengan diperbolehkan kapal asing menangkap ikan di Indonesia, yaitu mulai tahun 2001, itu ikan mulai turun dan hasil sensus antara 2003 sampai 2013, jumlah nelayan turun dari 1,6 juta menjadi 800 ribu saja.

Dan yang lebih gila lagi, ada 115 eksportir seafood bangkrut. Nah kalau sekarang yang tutup itu berapa industri? Tidak kurang dari 20. Jari saya bisa hitung.

Bukan anjlok 85 persen seperti yang disebutkan Wapres Kalla saat itu?

85 persen dari mana? Itu mereka juga pabriknya bohong-bohong saja. Orangnya saja enggak berani ngomong. Kalau betul itu pengusaha punya produksi, punya pabrik processing, pasti mereka omong sendiri (ke saya).

Mereka orang hebat-hebat semua kok. Tidak mungkin tidak bisa omong sendiri. Mereka ini canggih-canggih, tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh pengusaha.

Itu dulu pabriknya juga kosong. Itu pabrik dibikin hanya untuk stempel supaya bisa bawa kapal banyak. Nah ini sekali lagi jangan sebut itu investasi.

Mereka artinya perusahaan bodong?

Kalau secara kertas, tidak bodong. Tapi secara praktik, itu ilegal. Karena apa yang mereka lakukan, tidak sesuai dengan apa yang mereka janjikan.

Barangkali agen-agen pengusaha Indonesia itu juga tidak tahu. Karena ini kan dari luar negeri semua. Mereka cuma diberi fee untuk pengamanan lah atau mungkin network-lah apa.

Satu kapal (penangkap ikan) itu keruknya setiap tahun itu paling sedikit 2.000-3.000 ton. Thailand ada 5.000-an, kapal China ada 3.000 lebih, dari Filipina, dari Vietnam. Dari semua.

Halaman:


Terkini Lainnya

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com