JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Indonesia dinilai masih terlalu memaklumi tindakan pelanggaran kode etik yang terkait korupsi, juga perilaku koruptif.
Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Waluyo mengatakan, pada 2015-2016 ada 278 pengaduan yang masuk ke pihaknya terkait pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur sipil negara.
Kemudian, periode 2016-2017 tercatat ada 203 pengaduan. Akan tetapi pengaduan terkait pelanggaran kode etik sangat kecil. Jumlahnya tidak sampai 20 persen.
"Ternyata, pengaduan atas norma dasar pelanggaran kode etik rendah sekali. Dari 278 itu kira-kira yang mengadu cuma 15 persen," kata Waluyo dalam pembukaan "Sekolah Antikorupsi 2017" di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Selasa (1/8/2017).
Ia melanjutkan, dari sekitar 15 persen pelanggaran kode etik yang dilaporkan itu pun kebanyakan tidak terkait dengan korupsi atau terkait suap.
"Pelanggaran kode etik lebih banyak soal perselingkuhan, kemudian suaminya menikah lagi. Jadi, belum ada kaitannya ke sini (korupsi)," kata Waluyo.
Menurut Waluyo, rendahnya laporan pelanggaran kode etik yang terkait dengan korupsi lantaran kuatnya sifat pemakluman masyarakat.
"Ini karena nilai permisif masyarakat ini juga, ya sangat permisif. Karena permisif, jadi pelanggaran pelanggaran kode etik dianggap satu hal yang kayanya masih biasa dan belum ditindak," kata dia.
(Baca juga: Cegah Korupsi, KPK Bentuk Komite Advokasi Daerah)
Sementara Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Syafrina, mengatakan bahwa peran masyarakat sipil sangat penting dalam pemberantasan korupsi.
Almas mengimbau agar masyarakat aktif memantau dan melaporkan ke lembaga terkait jika menemukan adanya pelanggaran terkait korupsi.
Dalam hal keterbukaan informasi, misalnya. Masyarakat dapat melapor ke Komisi Informasi Publik (KIP) jika ada lembaga yang tidak mau membuka data terkait transparansi keuangan ke publik.
"Atau kalau kemudian ada ASN melanggar kode etik atau arogansi, bisa dilaporkan ke Komisi ASN. Misalnya, pada pemilu ada aparat yang terlibat dalam kampanye, memakai kendaraan dinas atau aktif dalam kegiatan kampanye dan lain sebagainya, maka bisa dilaporkan ke Komisi ASN," kata Almas.