JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekjen Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak antiterhadap kritik yang disampaikan kepada pemerintah.
Apalagi, jika kritik itu datang dari Presiden ke-6 yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Didi mengingatkan, SBY telah membuktikan terpilih sebagai presiden dua periode. Bahkan, pada periode kedua dengan suara rakyat yang sangat signifikan.
Oleh karenanya, kata Didi, sebagai mantan pemimpin negara yang sarat pengalaman, tentu sangat beralasan bila SBY memberikan kritik dan masukan yang tidak lain untuk kemaslahatan bangsa ini.
"Presiden Jokowi jangan alergi kritik dari Presiden ke-6 SBY," kata Didi dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Sabtu (29/7/2017).
Dalam pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Kamis (27/7/2017) lalu, SBY menyatakan bahwa mereka sepakat untuk bekerja sama mengawasi penguasa agar tidak melampaui batas.
(baca: SBY dan Prabowo Sepakat Mengawasi Penguasa agar Tak Melampaui Batas)
Ia dan Prabowo akan memastikan penguasa tidak melakukan penyimpangan kekuasaan.
Sehari kemudian, Jokowi menanggapi kritik tersebut dengan menegaskan bahwa pemerintahannya tidak berkuasa secara mutlak dan absolut.
Ada pers, LSM, DPR hingga masyarakat yang melakukan pengawasan.
(baca: Tanggapi SBY, Jokowi Tegaskan Tak Ada Kekuasaan Mutlak)
Namun, Didi menilai, wajar apabila banyak pihak, termasuk SBY, khawatir pemerintah melamapaui batas.
Menurut dia, hal tersebut bisa dilihat dari banyak hal. Misalnya, pengunjuk rasa yang dituduh makar, ormas yang dibubarkan tanpa melalui proses pengadilan, hingga pengkritik di medsos yang dijerat UU ITE.
"Sebagai pemimpin yang cinta demokrasi, SBY tidak pernah sedikitpun antiterhadap kritik, sekalipun kritik itu keras bahkan kerap berlebihan. Tidak seorangpun yang pernah dituduh makar hanya karena berbeda pendapat, apalagi hanya kritik," kata Didi.
Yang lebih menyedihkan, lanjut Didi, para pihak yang kritis dan berseberangan pemikiran dengan mudah dikatakan tidak Pancasilais.
(baca: Menurut MUI, Ideologi dan Aktivitas HTI Bertentangan dengan Pancasila)
Akhirnya, kata dia, makna sakral Pancasila jadi meredup karena digunakan oleh pihak penguasa dengan salah arah untuk menghantam orang-orang yang berbeda pendapat.
Didi menilai, jika hal seperti ini dibiarkan terjadi, maka sama saja memadamkan semangat reformasi yang telah diraih dengan pengorbanan dan biaya tidak murah pada tahun 1998 silam.
"Presiden Jokowi sekali lagi hendaknya tidak antikritik, bagaimanapun jangan anggap semua kehidupan masyarakat sudah berjalan baik-baik saja tanpa perlu dikoreksi sedikitpun. Ingat daya beli masyarakat, pengangguran, kemiskinan, dan berbagai problem bangsa masih terus terjadi," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.