JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wali Kota Mojokerto Masud Yunus dan Sekda Mojokerto Agus Nirbito, Kamis (27/7/2017).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, keduanya diperiksa sebagai saksi atas kasus pengalihan anggaran dari anggaran hibah Politeknik Elektronik Negeri Surabaya (PENS), menjadi anggaran program penataan lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto Tahun 2017.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat orang tersangka, salah satunya Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto yang juga politisi Partai Amanat Nasional, Umar Faruq, sebagai tersangka penerima suap.
"Keduanya kami konfirmasi soal indikasi aliran dana dan sejauh mana pengetahuan Wali Kota dan Sekda soal indikasi setoran ke DPRD Mojokerto," kata Febri, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain itu, lanjut Febri, penyidik juga mengonfirmasi soal pertemuan-pertemuan terkait kasus ini.
"Saksi Sekda, kami juga konfirmasi proses pembahasan anggaran APBD di Mojokerto. Ini terkait kewenagan Pemda ataupun DPRD Mojokerto," kata Febri.
KPK menetapkan empat orang tersangka dalam operasi tangkap tangan di Mojokerto, Jawa Timur.
Penangkapan ini terkait kasus suap pengalihan anggaran dari anggaran hibah Politeknik Elektronik Negeri Surabaya (PENS) menjadi anggaran program penataan lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto Tahun 2017.
Mereka yang ditangkap adalah Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang Pemkot Mojokerto, Wiwiet Febryanto, sebagai pemberi suap; Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani, dan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq selaku penerima suap.
KPK mengamankan uang Rp 470 juta. Sebanyak Rp 300 juta di antaranya merupakan total komitmen fee dari kepala dinas untuk pimpinan DPRD Mojokerto.
Uang tahap pertama sebesar Rp 150 juta yang merupakan bagian dari komitmen fee tersebut disebut sudah ditransfer pada 10 Juni 2017.
Sementara itu, Rp 170 juta diduga terkait komitmen setoran triwulan yang disepakati sebelumnya.
Pemberi suap dalam kasus ini dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 20001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara penerima suap dijerat dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 20001 Jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.