JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan soal RUU Pemilu tampaknya tak akan berhenti setelah pengesahan yang dilakukan DPR dalam rapat paripurna yang berlangsung "panas" sejak Kamis (20/7/2017) hingga Jumat (21/7/2017) dini hari.
Pengesahan RUU Pemilu diwarnai aksi walk out oleh empat fraksi yaitu Fraksi Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.
Empat fraksi ini memilih meninggalkan "gelanggang" karena tak sepakat dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara sah nasional.
Alasannya, seharusnya tak ada ketentuan soal presidential threshold karena pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada 2019 dilaksanakan secara serentak.
Dengan demikian, hasil Pemilu Legislatif 2014 tak lagi relevan digunakan untuk Pilpres 2019.
Baca: Yusril: Saya Akan Lawan UU Pemilu yang Baru Disahkan ke MK
Pada rapat paripurna dini hari tadi, DPR menyepakati opsi A yang terdiri dari sistem pemilu terbuka presidential threshold 20-25 persen, ambang batas parlemen 4 persen, metode konversi suara sainte lague murni, dan kursi dapil 3-10.
Paket tersebut didukung enam fraksi pendukung pemerintah, yakni PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura.
Gugat UU Pemilu
Pengesahan RUU Pemilu dengan ketentuan presidential threshold di dalamnya, membuat sejumlah kelompok masyarakat sipil bersiap melayangkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satunya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Baca: Mendagri Siap jika UU Pemilu Digugat ke MK
Bersama jaringan masyarakat sipil lainnya, Perludem akan mengajukan gugatan uji materi terhadap ketentuan presidential threshold.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyayangkan presidential threshold 20-25 persen tetap dipaksakan.
Menurut dia, ketentuan penggunaan presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 karena akan mengakibatkan ketidakadilan perlakuan bagi partai politik baru peserta Pemilu 2019 yang belum memiliki kursi/suara dari pemilu sebelumnya.
Partai-partai politik tersebut tidak bisa mengusung capres tanpa bergabung dengan parpol lain yang sudah jadi peserta pemilu sebelumnya.
Disepakatinya opsi paket A, menurut Titi, juga berpotensi mengganggu kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu 2019.
Baca: Gerindra Siapkan Uji Materi bila "Presidential Threshold" Tak Dihapus
"KPU dibayang-bayangi kemungkinan terjadinya perubahan aturan main pemilu akibat adanya putusan MK atas uji materi UU Pemilu," kata Titi, saat dihubungi, Jumat.
Hasil Pemilu 2014 juga dinilai tak relevan jika digunakan untuk Pemilu 2019.
Sebab, perolehan suara partai pada Pemilu 2014 belum tentu sama dengan Pemilu 2019.