JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyatakan partainya mengembalikan sepenuhnya kelanjutan posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR kepada Partai Golkar.
Arsul menyatakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), pimpinan DPR diberhentikan sementara jika statusnya sudah terdakwa.
"Di sini ada persoalan citra tapi kita juga dihadapkan aturan yang berlaku di Undang-undang MD3," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Oleh karena itu, ia mempersilakan Fraksi Golkar di DPR untuk bersikap. Ia menambahkan jika Golkar bergeming pun, PPP tak masalah karena tak ada aturan yang dilanggar.
(Baca: Jadi Tersangka KPK, Novanto Tak Mundur sebagai Ketua DPR)
"Sebelum status terdakwa maka kembali ke standar moral tiap fraksi. Ada yang tetap berpedoman ke MD3, dari sini karena belum status terdakwa kita kembalikan ke fraksi Golkar. Sikap Golkar yang pasti secara hukum tidak salah. Kalau soal etik kita serahkan ke publik," lanjut dia.
KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka pada Senin (17/7/2017). Dia diduga terlibat dalam korupsi e-KTP dalam kapasitasnya sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.
Fadli Zon mengatakan, pimpinan DPR sudah menggelar rapat setelah KPK mengumumkan tersangka Novanto. Pihaknya lalu melihat aturan yang mengatur anggota DPR maupun pimpinan DPR, yakni UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)
"Telah kita simpulkan, sesuai UU MD3, adalah hak setiap anggota DPR yang ada di dalam proses hukum untuk tetap menjadi anggota DPR sampai proses hukum itu mengalami keputusan akhir," kata Fadli.
(Baca: Fadli Zon: Pergantian Ketua DPR Tergantung Fraksi Golkar)
Fadli mengatakan, selama tidak ada keputusan dari Fraksi Golkar terkait jabatan Ketua DPR, maka Novanto akan tetap memimpin DPR.
"Sehingga boleh disimpulkan pimpinan DPR tetap seperti sekarang," kata Fadli.
Sementara itu, Kepala Badan Keahlihan DPR Jonson Rajagukguk menambahkan, dalam UU MD3 sudah diatur pemberhentian pimpinan DPR. Dalam Pasal 87 ayat 1 diatur Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan.
Jika pimpinan KPK terjerat kasus pidana, dalam ayat 2 huruf c diatur pemberhentian bisa dilakukan ketika dinyatakan bersalah dalam putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap karena melakukan pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih.
"Karena ini masih tersangka, tentu tidak ada pengaruh terhadap kedudukan Novanto selaku Ketua DPR. Ini yang harus kami sampaikan secara tegas sesuai UU 17 tahun 2014 tentang MD3," ucap Jonson.