JAKARTA, KOMPAS.com - Asisten Deputi Materi Hukum Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Heni Susila menjelaskan alasan mengapa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan memuat aturan bahwa pembubaran ormas harus melalui mekanisme peradilan.
Pada saat itu, Heni mengatakan, ada resistensi dari beberapa fraksi partai politik di DPR yang intinya keberatan apabila pencabutan ormas dilakukan langsung tanpa melibatkan pengadilan.
Alasannya, saat itu untuk menghindari kesewenang-wenangan dan dampak negatif bagi era demokrasi di Indonesia.
"Kepentingan politik pada saat itu menghendaki demikian, dan pemerintah juga menyetujui," kata Heni, dalam diskusi di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Senin (17/7/2017).
Namun, saat itu pemerintah belum melihat dampak negatif dari perkembangan ormas. Salah satunya adalah munculnya ormas yang membawa paham yang anti-Pancasila.
Kemudian saat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas, pemerintah menggunakan asas contrarius actus yang dijadikan pijakan menerbitkan Perppu Ormas ini.
Asas ini memberikan kewenangan bagi pemerintah sebagai pembuat aturan, berwenang mencabut aturan yang dibuatnya tersebut. Sehingga, tidak perlu melalui mekanisme pengadilan.
(Baca juga: Setara Minta Pemerintah Jamin Perppu Ormas Tak Dipakai Sewenang-wenang)
Heni menyatakan, pemerintah optimis perppu ini disetujui DPR. Meskipun, dulunya sempat terganjal di DPR karena keberatan soal asas contrarius actus tersebut.
"Apa yang terjadi secara poilitik di DPR saya kira prosedur formal yang harus dilalui. Kalau dari sisi pemerintah, pemerintah punya keyakinan 100 persen. Kalau tidak yakin, tidak mungkin perppu ini akan terbit," ujar Heni.