JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menampik tudingan ingin menjegal Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2019 melalui penetapan ambang batas presiden sebesar 20 persen.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan, tudingan itu tidak mendasar.
"Lihat saja dua kali Pilpres kan (PT) 20 persen dan 25 persen. Yang pertama lima pasang calon, yang kedua dari empat menjadi dua pasang," ujar Tjahjo, di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (17/7/2017).
"Lagipula sudah diatur di dalam undang-undang yang baru juga bahwa tidak mungkin ada calon tunggal," lanjut dia.
Baca: Fadli Zon: Pemerintah Berusaha Jegal Prabowo Jadi Capres 2019
Apalagi, tidak ada satu partai politik pun pada Pilpres 2009 dan 2014 yang tidak setuju dengan ambang batas presiden sebesar 20 dan 25 persen.
"Jadi, kalau ada politikus yang mengatakan bahwa PT 20 atau 25 persen itu kepentingan pemerintah untuk calon tunggal, enggak ada buktinya kok," lanjut dia.
Tjahjo menegaskan, pemerintah bersikukuh ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen dalam RUU Pemilu untuk memperkuat sistem presidensial, bukan menjegal seseorang dalam pilpres.
Diberitakan, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menuding pemerintah menjegal Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 mendatang.
Sebab, pemerintah bersikukuh tak ingin mengubah ambang batas presiden dalam revisi UU Pemilu yang masih alot dibahas di DPR RI.
Baca: Istana Anggap Terlalu Jauh Tuduhan Jegal Prabowo Jadi Capres 2019
"Menurut saya, yang ada sekarang ini, pemerintah sedang berusaha untuk menjegal Pak Prabowo untuk menjadi calon dan ini tidak masuk akal," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Bagi Fadli, angka ambang batas yang lama, yakni 20 persen dari perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara nasional sudah basi. Sebab, sudah digunakan pada Pilpres 2014 lalu.