JAKARTA, KOMPAS.com – Dua tahun menjelang Pemilu 2019, mulai terlihat perbedaan antara Presiden Joko Widodo dengan partai pendukungnya.
Hal itu terlihat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dan penyikapan atas terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Dalam pembahasan RUU Pemilu, Jokowi menginginkan adanya penguatan sistem presidensial melalui presidential threshold (PT) sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional.
Sedangkan PAN selaku partai koalisi pendukung Jokowi justru menginginkan PT dihapus alias 0 persen karena alasan keserentakan. Begitu pula saat pemerintah menerbitkan Perppu Ormas, lagi-lagi PAN mengeluarkan sikap berbeda.
Hampir semua elite PAN, justru memunculkan pernyataan yang mempertanyakan perppu tersebut.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, bahkan mengatakaan Perppu Ormas akan memberi dampak negatif kepada Jokowi karena dirasa tak ada aspek kegentingan yang memaksa. Ia juga mengaku partainya tak pernah dilibatkan dalam penggodokan perppu.
(Baca: Zulkifli Sebut Kalau Perppu Ormas Dibahas Bersama Tak Akan Jadi Ramai)
Akibatnya, tak tanggung-tanggung, PDI Perjuangan sebagai partai pengusung utama Jokowi pada Pemilu 2014 bahkan meminta PAN untuk keluar dari koalisi jika terus bertentangan dengan pemerintah.
"Kalau sudah menyatakan dukungan pada pemerintah ya harusnya disertai dengan implementasi dukungan terhadap kebijakan, dukungan terhadao konsolidasi politik yang dilakukan presiden," tutur Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
(Baca: Sekjen PDI-P Harap PAN Keluar dari Koalisi Pemerintah)
Pernyataan yang meminta agar PAN mengambil sikap yang jelas terkait dukungannya kepada pemerintah juga disampaikan oleh Partai Hanura.
"Kalau terus ingin beda bukan koalisi dong. Lebih baik dengan jantan mengambil posisi lain. Jangan barangnya mau, barengnya enggak mau," kata Wakil Sekretaris Jenderal Hanura Dadang Rusdiana.
(Baca: Jika DPR Tolak Perppu Ormas, Hanura Minta Jokowi Evaluasi Anggota Koalisi)
Menanggapi hal ini, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai konstelasi yang terjadi antara Jokowi dan PAN merupakan efek dari ketidaklancaran komunikasi politik di antara keduanya.
"Kita kan enggak tahu pola relasi antara Pak Jokowi dan PAN misalnya, kenapa seperti itu. Tapi pasti ada yang salah ini. Ada pola relasi yang tidak jalan, komunikasi yang tidak jalan, interaksi yang tersendat,” ujar Zuhro saat dihubungi, Minggu (16/7/2017).