JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Konstitusi Arief Hidayat masih memiliki peluang untuk kembali mengemban jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Peluang ini sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Peraturan MK Nomor 13/2012 yang menyebutkan bahwa "Ketua dan wakil ketua MK yang terpilih sebagaimana dimaksud Ayat 1 dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan".
"Ketentuannya dapat dipilih kembali. Jadi periodenya dua tahun enam bulan dan bisa dipilih kembali," kata kepala Biro Humas dan Protokol MK, Rubiyo di MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/7/2017).
MK hari ini menggelar pergantian pimpinan, sehubungan dengan berakhirnya masa jabatan Arief Hidayat selaku ketua MK saat ini. Selain Arief, delapan hakim konstitusi lainnya juga berpeluang menjadi ketua MK.
Hingga saat ini, sembilan hakim MK tengah bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi Ketua MK periode 2017-2020. Dengan kata lain, pemilihan secara aklamasi.
Namun, jika musyawarah tidak menemui kesepakatan, maka setelah itu dilakukan voting secara terbuka.
"Mengenai calon terkuat, kami tidak mengetahuinya. Sebab, itu menjadi ranah Bapak dan Ibu Hakim (konstitusi)," kata dia.
(Baca: Jumat Pagi, Sembilan Hakim Konstitusi Lakukan Pemilihan Ketua MK)
Sementara Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Oce Madril mengatakan, pergantian ketua MK sedianya menjadi momentum perbaikan dan refleksi kepemimpinan.
Seperti diketahui, lanjut Oce, sejumlah isu kontroversi mencuat selama kepemimpinan Arief. Misalnya, perihal memo katebelece.
Selain itu, ada juga kasus penangkapan mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran terkait kasus suap.
"Ketua MK ke depan memiliki tugas berat untuk menjaga marwah dan kewibawaan MK. Seperti kasus salah satu hakim yang ditangkap KPK, faktor-faktor itu boleh jadi faktor personal, sistem atau governance yang ada di MK," kata peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM tersebut.