JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 terkait Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan akan segera selesai.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, revisi PP ini tinggal menunggu penyampaian di rapat terbatas.
"Revisi PP 99 sudah masuk, sudah ditandatangani semua, dikirim ke Setneg. Tinggal menentukan waktu saya menyampaikan ke ratas," ujar Yasonna, dalam rapat bersama Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/7/2017).
Revisi PP 99 seharusnya disampaikan pada rapat terbatas lalu sebelum Presiden Joko Widodo bertolak ke Turki.
Tetapi, urung dilaksanakan dan menunggu dijadwal ulang.
Baca: KPK Ingatkan Revisi PP Remisi Jangan Sampai Lemahkan Pemberantasan Korupsi
Jika revisi jadi dilakukan, maka persoalan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan perlahan dapat terurai.
Yasonna mengungkapkan, pada Oktober 2014, jumlah narapidana mencapai 150.000 orang.
Sementara, per hari ini, jumlahnya sudah mencapai 220.000 orang. Paling besar jumlahnya adalah narapidana kasus narkoba.
"Ini yang jadi persoalan," kata dia.
Mantan Anggota Komisi II DPR itu, menegaskan, ada paradigma yang harus diubah soal penanganan narkoba agar tak semua yang terlibat narkoba dikirim ke lapas.
"Juga UU Narkotika perlu segera kita revisi supaya kekaburan antara pengguna dan kurir tidak jadi bancakan permainan. Karena ini tren yang sangat mengerikan," kata dia.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM sedang merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Salah satu alasan merevisi PP 99 karena berlebihnya kapasitas lapas.
Sebelumnya, Yasonna Laoly mengatakan jumlah narapidana tidak sesuai dengan kapasitas lapas.
Dengan kapasitas yang berlebih, ia khawatir adanya potensi kerusuhan di dalam lapas.
Dikutip dari berita Kompas.com pada Agustus 2016 lalu, kelebihan kapasitas lapas tertinggi berada di lima provinsi antara lain, Riau (290 persen), Kalimantan Selatan (275 persen), Sumatera Utara (266 persen), Jakarta (255 persen), Kalimantan Timur (241 persen).