Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hak Angket terhadap KPK Bisa Ditafsirkan Legal, tetapi Tidak Tepat

Kompas.com - 08/07/2017, 13:55 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Hukum Tata Negara, Satya Arinanto mengatakan, penggunaan hak angket oleh DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa ditafsirkan sesuai aturan yang berlaku.

Menurut Satya, Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memberi celah bagi DPR untuk menggunakan haknya tersebut tidak hanya terhadap pemerintah sebagai lembaga eksekutif, tetapi semua lembaga negara pelaksana undang-undang.

Dengan demikian, hak angket bisa diarahkan terhadap KPK yang merupakan lembaga independen atau lembaga negara. Namun, Satya menilai bahwa penafsiran itu belum sepenuhnya tepat.

"Kalau secara undang-undang, iya (legal). Tapi kalau ditafsirkan begitu, nanti semua (lembaga) bisa diangket, yang melaksanakan undang-undang. Tapi saya tidak setuju, dia legal tapi tidak tepat," kata Satya dalam diskusi "Nasib KPK di Tangan Pansus" di Jakarta Pusat, Sabtu (8/7/2017).

Satya pun menjelaskan, sejak awal pembentukan UU MD3 penggunaan hak angket selalu ditujukan kepada pemerintah.

"Selama ini diarahkan kepada pemerintah semua. Dari Bung Karno (Soekarno) sampai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," ujar dia.

Satya pun menegaskan bahwa hak angket hanya untuk melakukan penyelidikan terhadap lembaga dalam melaksanakan suatu undang-undang.

Jika ditemukan ada unsur kesalahan atau hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang dilakukan lembaga tersebut, kemudian DPR menindaklanjutinya dengan hak menyatakan pendapat yang dapat berujung pada pembubaran atau impeachment.

"Sifatnya kan rekomendasi saja, tetapi yang melaksanakan itu lembaga yang bersangkutan dan pemerintah. (Rekomendasinya) sebenarnya mengikat, cuma selama ini yang kena efek presiden," kata Satya.

Satya mengatakan, saat akan dilakukan perubahan UU MD3 pada 2014 lalu, dirinya bersama tim ahli ingin merumuskan agar secara spesifik penggunaan hak angket dapat ditujukan kepada pemerintah saja.

Hal ini guna menghindari polemik ke depannya. Namun, DPR meminta agar hak angket dapat diberlakukan lebih luas.

"Waktu itu, angket itu usul DPR ditambah, tidak hanya meminta keterangan kepada pemerintah tetapi juga ditambah lembaga pelaksana UU. Itu yang saya soroti dari awal karena yang melaksanakan UU itu luas," ujar dia.

Namun, menurut 132 pakar hukum tata negara, pembentukan Pansus Angket KPK cacat hukum.

(Baca juga: 132 Pakar Hukum Tata Negara Nilai Cacat Pembentukan Pansus Angket KPK)

Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Mahfud MDmengatakan, ada tiga hal dasar pansus tersebut dinilai cacat hukum. Pertama, karena subyek hak angket, yakni KPK dinilai keliru.

"Subjeknya keliru karena secara historis hak angket itu dulu hanya dimaksudkan untuk pemerintah," ujar Mahfud.

Pasal 79 Ayat 3 UU MPR DPR DPD dan DPRD (MD3), kata Mahfud, menyebutkan hak angket dugunakan untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan pemerintah, misalnya Presiden, Wapres, para mentri, jaksa agung, kapolri, dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK).

Mahfud mengatakan, KPK tidak termasuk di dalamnya.

Kedua, obyek hak angket, yakni penanganan perkara KPK. Obyek penyelidikan hak angket harus memenuhi tiga kondisi, yakni hal penting, strategis dan berdampak luas bagi masyarakat.

Ketiga, prosedurnya dinilai salah. Prosedur pembuatan pansus itu, lanjut Mahfud, diduga kuat melanggar undang-undang karena prosedur pembentukan terkesan dipaksakan.

Kompas TV Perlukah Pansus Hak Angket KPK Temui Narapidana Korupsi?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com