JAKARTA, KOMPAS.com - Tajudin bin Tatang Rusmana tampak memasuki Lobi Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/7/2017), menjelang pukul 13.00 WIB.
Di depan pintu lobi Gedung MK, ia meletakkan dagangannya. Ya, pria asal Padalarang, Jawa Barat itu, sehari-harinya menjual cobek. Pada hari ini, cobek-cobek dagangannya tak lepas dari pikulan saat memasuki Gedung MK.
Pihak keamanan gedung meminta Tajudin tak membawa barang dagangannya ke dalam ruang sidang.
"Iya, datang dari Padalarang. Sengaja bawa cobek biar sekalian dijual di sini (selama berada di Jakarta)," kata Tajudin.
Apa kepentingan Tajudin mendatangi Gedung MK pada hari ini?
Ia sengaja datang ke Gedung MK untuk mengikuti sidang perdana gugatan uji materi yang diajukannya.
Didampingi kuasa hukum dari Lembaga Keadilan Masyarakat, Tajudin mengajukan uji materi terhadap Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21/2017).
Ketentuan Pasal 2 Ayat 1 ini dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Ia pernah menjadi korban dari penafsiran frasa pada pasal ini.
Soal kasus Tajudin, baca: Kisah Anak-anak Penjual Cobek dari Padalarang
Pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".
Tajudin menilai, pasal tersebut tidak menjelaskan secara detil mengenai perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.
Kerugian konstitusional itu, menurut dia, semakin tampak jika frasa "untuk tujuan mengeksploitasi orang" tidak dimaknai dengan adanya unsur melawan hukum.
Dalam permohonannya, Tajudin menyebut bahwa dirinya menjadi korban kriminalisasi karena harus menjalani hukuman penjara selama sembilan bulan akibat penafsiran frasa tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1608/Pid.Sus/2016 PN .Tng, menyatakan Tajudin melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan Pasal 2 Ayat1 UU 21/2017 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP dan Pasal 88 UU 35/2014 juncto Pasal 64 KUHP.