JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyesalkan sikap pemerintah yang ngotot ingin memasukkan ketentuan mengenai presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden ke dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Yusril mengingatkan, UU Pemilu rentan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila tetap memasukkan ketentuan mengenai presidential threshold.
Sebab, MK sudah memutuskan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan secara serentak, sehingga seharusnya tidak ada lagi ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
"Dalam perkiraan saya, kalau ada yang mengajukan uji materiel ke MK tentang ambang batas pencalonan presiden, maka kemungkinan besar MK akan membatalkan ambang batas itu," kata Yusril kepada Kompas.com, Jumat (16/6/2017).
Yusril mengatakan, logika pemilu serentak adalah tidak adanya ambang batas sebagaimana substansi Pasal 22 E UUD 45 yang mengatur Pemilu.
Jadi kalau ambang batas pencalonan Presiden masih ada dalam pemilu serentak, maka undang-undang yang mengaturnya adalah inkonstitusional.
"Undang-undang yang inkonstitusional, jika dijadikan dasar pelaksanaan pilpres, akan melahirkan presiden yang inkonstitusional juga. Ini akan berakibat krisis legitimasi bagi Presiden yang memerintah nantinya," ujar Yusril.
Selain rawan dibatalkan MK, Yusril juga menegaskan bahwa adanya presidential threshold tidak sehat bagi demokrasi di Indonesia, apalagi jika persentasenya sebesar yang diusulkan pemerintah.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini memprediksi hanya akan ada dua pasang calon yang akan maju kembali dalam Pilpres 2019 mendatang. Bahkan bisa jadi, Pilpres 2019 akan kembali mempertemukan Jokowi dan Prabowo.
"Jadi calon dalam Pilpres 2019 kemungkinan akan sama dengan calon Pilpres 2014. Perbedaan, paling-paling hanya pada calon wapres saja. Keadaan ini tentu tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi di negara kita," ucapnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya mengancam bahwa pemerintah akan menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu.
Pemerintah ngotot menggunakan presidential threshold yang lama, yakni partai politik atau gabungan partai politik harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Sementara, baru ada tiga parpol yang solid mendukung pemerintah, yakni PDI-P, Golkar dan Nasdem.
"Kalau tidak (disetujui) dengan sangat terpaksa pemerintah menolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Menarik diri, ada dalam aturan undang-undang," kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (15/6/2017).
(Baca: Pemerintah Ancam Menarik Diri jika "Presidential Threshold" Diubah)
Tjahjo menegaskan bahwa langkah pemerintah menarik diri dalam pembahasan suatu undang-undang ini sudah diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Apabila pemerintah menarik diri, maka pembahasan suatu UU tidak bisa dilanjutkan. Pemilu 2019 mendatang pun harus diselenggarakan berdasarkan UU yang lama, yakni UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam UU tersebut, presidential threshold sebesar 20-25 persen, sama dengan keinginan pemerintah saat ini.
"Kita pakai UU yang lama. Hanya kemungkinan ada klausul agar mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa tahun 2019 pilpres dan pileg digelar serentak," ucap Tjahjo.
(Baca juga: Saat Suara Partai Pemerintah Terbelah karena "Presidential Threshold")