JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung pemerintah dalam meningkatkan pendidikan karakter.
Namun, jika cara yang dipilih adalah melalui penambahan waktu berkegiatan di sekolah, maka hal itu tidaklah tepat. Sebab, tidak ada jaminan bahwa karakter seorang anak akan jadi baik jika waktu berkegiatan di sekolah ditambahkan.
"Pembentukan karakter dengan penambahan waktu atau jam sekolah merupakan dua hal berbeda. Pembentukan karakter tidak secara otomatis bisa dicapai dengan jalan menambahkan jam sekolah," kata Ketua PBNU, Said Aqil Siroj di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Said mengatakan, PBNU menilai kebijakan lima hari sekolah dengan kegiatan selama delapan jam setiap harinya itu bertentangan dengan Pasal 35 UU14/2005 tentang Guru dan Dosen.
(Baca: Jokowi Minta Mendikbud Kaji Ulang Kebijakan 8 Jam Belajar)
Pasal 2 menyebutkan, "Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu".
"Kebijakan lima hari sekolah/delapan jam belajar di sekolah berpotensi besar kepada jumlah jam mengajar guru di sekolah melampaui batasan yang telah diatur dalam UU yang dimaksud," kata Said.
PBNU, lanjut Said, juga melakukan kajian dan pemantauan. Faktanya, mayoritas sekolah belum siap sarana dan prasarana untuk program tersebut.
"Mengingat tingginya gejolak serta keresahan yang terjadi di masyarakat di atas maka dengan ini PBNU meminta kepada Presiden untuk mencabut atau membatalkan kebijakan lima hari sekolah," kata Said.