JAKARTA, KOMPAS.com - Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), munculnya sel mewah dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) bisa disebabkan karena perilaku koruptif petugas lapas.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini publik dihebohkan dengan penemuan sel mewah di Lapas Cipinang bagi narapidana.
Selain karena faktor petugas lapas, Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono juga melihat ada situasi khusus yang membuat subur praktik komodifikasi yang koruptif ini.
"Situasi khusus ini adalah overcrowding yang selalu menjadi biang masalah utama lapas Indonesia," kata Supriyadi melalui keterangan pers diterima Kompas.com, Kamis (15/6/2017).
Supriyadi mengatakan, temuan dari berbagai studi ICJR dan berbagai lembaga telah menunjukkan pola yang seragam. Data per Juni 2017 tercatat bahwa jumlah narapidana di Indonesia sebanyak 153.312. Sedangkan kapasitas yang dapat ditampung hanya 122.114 narapidana.
(Baca: Kemenkumham Selidiki Masuknya Narkoba di Sel Mewah Lapas Cipinang)
"Secara keseluruhan lapas di Indonesia mengalami kelebihan penghuni mencapai 84 persen," ucap Supriyadi.
Per Juni 2017 Lapas Cipinang diisi oleh 2.926 narpidana dan tahanan. Padahal, kapasitasnya hanya untuk 880 narapidana.
Menurut Supriyadi, kelebihan penghuni pada lapas-lapas di Indonesia inilah yang menimbulkan dampak langsung bagi praktek komodifikasi lapas.
"Overcrowding jelas mengakibatkan tidak terakomodirnya pelayanan dan fasilitas yang memadai bagi warga binaan," kata dia.
Tentu saja, imbuhnya, kondisi yang layak hanya dapat terjadi manakala lapas menampung penghuni yang sesuai dengan kapasitasnya.
"Bagaimana mungkin kelayakan dapat diperoleh di saat kelebihan muatan mencapai 332 persen? Hampir 3 kali lipat dari kondisi normal," ujar Supriyadi.
(Baca: Mengapa Bisa Ada "Sel Mewah" di Lapas Cipinang?)
Overcrowding ini juga mengakibatkan layanan standar minimum bagi lapas menurun ke tingkat yang semakin mengkhawatirkan. Layanan dasar berupa air minum, makanan, komunikasi, ruang tidur termasuk kesehatan terkena dampak langsung.
"Negara terbukti mengalami kesulitan membiayai pengeluaran lapas untuk memenuhi standar minimum ini," imbuh Supriyadi.
Situasi inilah, kata dia, yang mendorong anak binaan harus mencari alternatif dalam menyokong standar hidup minimum dalam lapas. Situasi ini jugalah yang akhirnya mendorong dukungan kehidupan dari pihak luar yakni para keluarga-handai tolan anak binaan.
"Masalahnya dukungan keluarga ini pasti akan digantungkan kepada kondisi ekonomi masing-masing, ada yang kaya dan banyak yang miskin," kata Supriyadi.
"Hal inilah yang menjadikan penyediaan fasilitas tertentu selalu menjadi komoditas subur bagi petugas lapas yang koruptif," imbuhnya.
Supriyadi menengarai, narapidana yang tergolong memiliki kemampuan finansial yang lebih kuat, akan menyuap petugas untuk mendapat fasilitas yang lebih memadai bahkan cenderung mewah.