JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menilai, alasan DPR menggulirkan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tepat.
DPR beralasan, selama ini KPK berjalan tanpa pengawasan.
Ia berpendapat, selama ini, dalam menjalankan kewenangan pro justicia, KPK selalu mendapatkan pengawasan.
Pengawasan terhadap KPK melekat dalam sistem peradilan pidana, bukan oleh DPR.
"Misalnya, ketika melakukan penyadapan, KPK wajib menghadirkan rekaman penyadapan itu ke pengadilan agar dapat diterima sebagai bukti," kata Miko, melalui pesan singkat, Kamis (15/6/2017).
"Ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka KPK wajib melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diperiksa secara terbuka," tambah dia.
Hal ini, lanjut Miko, berlaku sama untuk kewenangan-kewenangan penegakan hukum lainnya yang dilakukan KPK.
Baca: Ketua KPK: Rekaman Pengakuan Miryam Tak Perlu Dibuka di Pansus Angket
Artinya, KPK dilengkapi sistem pengawasan dan harus tunduk pada sistem peradilan pidana yang mengharuskan adanya mekanisme saling uji.
Miko menambahkan, penggunaan hak angket oleh DPR bertentangan dengan asas independensi KPK sebagai penegak hukum dan akan mengganggu pengungkapan kasus-kasus korupsi yang tengah ditangani, seperti kasus e-KTP, BLBI, dan kasus-kasus lainnya.
Hal itu terlihat dari wacana permintaan informasi atau dokumen terkait pengungkapan perkara.
"Sebagaimana ketentuan Pasal 205 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan KPK wajib hadir dan menyerahkan segala dokumen apabila dimintakan oleh Pansus Hak Angket," kata Miko.
Meski demikian, KPK bisa saja menolak memberikan informasi atau dokumen terkait perkara yang tengah ditangani kepada Pansus Hak Angket.
Baca: Lewat Surat, Miryam S Haryani Bantah Ditekan Anggota Komisi III
Sebab, terdapat ketentuan undang-undang lainnya, seperti pada Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik yang menyatakan bahwa materi penyidikan adalah dokumen yang bersifat dikecualikan untuk dapat diakses.
Miko mengatakan, selain itu juga terdapat konflik kepentingan di antara pengusung dan anggota Pansus Hak Angket.
"Oleh karenanya, tidak salah muncul kesan bahwa ini bukan aspirasi rakyat (konstituen) melainkan aspirasi para anggota Pansus Hak Angket sendiri," kata Miko.