Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Politik Keruh

Kompas.com - 12/06/2017, 16:16 WIB

oleh: Syamsuddin Haris

Sulit dimungkiri bahwa politik di negeri ini agak keruh dalam beberapa waktu terakhir. Suasana saling curiga antargolongan masyarakat dan negara-masyarakat cenderung semakin meningkat.

Apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa keindonesiaan kita tiba-tiba begitu rapuh justru ketika kita hendak merayakan hampir dua dekade reformasi?

Salah satu sumber kekeruhan politik itu, yakni dua putaran Pilkada DKI Jakarta 2017, sebenarnya telah usai. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangi pertarungan panas, mengalahkan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dengan selisih suara cukup telak.

Namun, ironisnya nuansa perbincangan, interaksi, dan relasi sosial pasca-pilkada belum sepenuhnya pulih seperti sediakala. Meski intensitas berita bohong (hoaks), fitnah, dan ujaran kebencian yang sebelumnya tumpah ruah di berbagai media sosial kini jauh berkurang, rekonsiliasi sosial belum sepenuhnya berlangsung.

Seorang kolega senior bercerita bagaimana suasana pasca-Pilkada DKI di lingkungan tempat tinggalnya. Sebelum pilkada digelar, beberapa tetangga rajin menunggu dan menyapa di ujung gang rumahnya sebelum mereka kemudian bersama-sama berangkat shalat berjemaah di masjid. Seusai shalat, mereka acap tak langsung pulang, tetapi berdiskusi ringan tentang banyak hal terkait isu politik mutakhir. Akan tetapi, setelah pilkada, suasana itu hilang. Meski ia masih melewati gang yang sama serta shalat di masjid yang sama, kini tak ada lagi tetangga yang menunggu dan menyapanya di ujung gang. Pun tak ada lagi diskusi ringan disertai canda tawa lepas seperti dulu. Beberapa orang malah cenderung menghindar bertatap langsung dengan sang kolega.

Tak sedikit cerita serupa dialami warga Jakarta lain-dan bahkan mungkin warga luar Jakarta-yang mengalami perlakuan tak bersahabat dari kolega, tetangga, dan kerabat lantaran perbedaan preferensi politik dalam pemilu dan pilkada. Lalu, apa yang salah dengan negeri ini?

(Baca juga: Radikalisme dan Politik Identitas)

Gagal "hijrah"

Suasana politik keruh sebenarnya sudah terbentuk sejak menjelang Pemilu Presiden 2014. Munculnya dua pasangan calon, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dalam pilpres tak hanya membelah politik nasional kedua kubu politik berlawanan, tetapi juga meninggalkan luka politik bagi sebagian pendukung mereka yang gagal "hijrah", atau menggunakan terminologi populer, gagal move on, sejak pasca-pilpres hingga kini. Meski koalisi pendukung masing-masing, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), akhirnya "mencair", hal itu tampaknya tidak terjadi di sebagian masyarakat akar rumput.

Pembelahan politik yang mewarnai kompetisi pilpres semestinya sudah berhenti dan selesai saat Jokowi-JK terpilih dan Prabowo-Hatta sebagai capres dan cawapres yang kalah secara ksatria mengakui kekalahannya. Itu pula yang seharusnya terjadi ketika Anies-Sandi memenangi Pilkada DKI dan Basuki-Djarot secara terbuka mengakui kekalahan serta mengucapkan selamat kepada pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih. Politik yang "cair" dan rekonsiliatif pasca-pemilu dan pilkada diperlukan negeri ini agar pembangunan bisa dilanjutkan dan janji-janji politik bisa segera diwujudkan oleh pasangan terpilih.

Namun, pasca-Pilpres 2014, rekonsiliasi politik di tingkat elite tampaknya berlangsung "semu", sementara rekonsiliasi sosial di tingkat akar rumput tak terjadi. Akibatnya, luka politik dan sosial bukan hanya tak kunjung sembuh, melainkan juga cenderung terpelihara. Ironisnya, tak sedikit pula orang atau kelompok orang yang mau bekerja profesional sebagai operator untuk "memelihara" luka politik dan sosial, bahkan mungkin juga "merawat" dendam politik yang belum lunas terbayar.

Akal sehat tak bekerja

Oleh karena itu, dinamika politik Pilkada DKI tak sepenuhnya terkait pertarungan gagasan tentang Jakarta yang lebih baik. Hampir selalu ada penumpangan agenda politik tersembunyi di balik kompetisi politik yang semestinya berlangsung fair dan sportif. Agenda itu bisa sangat beragam, mulai dari dendam politik, ambisi kekuasaan, hingga politik rasialis. Dendam politik, misalnya, belum tentu semata-mata terkait urusan menang-kalah di pilkada, melainkan lebih karena sang "pemilik dendam" merasa gurita bisnis atau kenyamanan ekonominya terganggu jika suatu rezim politik berada di tangan orang dan/atau kelompok politik lain.

Maka, ketika Ahok dituding melakukan penodaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, para musuh politiknya bagai memperoleh durian runtuh.

Sejak kasus "penodaan agama" dituduhkan kepada sastrawan HB Jassin (1968)-karena majalah Sastra edisi No 8/Agustus 1968 itu menerbitkan cerita pendek "Langit Makin Mendung" -hingga kasus survei tabloid Monitor oleh Arswendo Atmowiloto (1990), Lia Eden yang mempersonifikasi diri sebagai Bunda Maria (2006 dan 2009), dan Ahmad Musadeq yang mengangkat diri sebagai "Nabi" (melalui aliran Qiyadah Islamiyah, 2007, dan Gafatar, 2016), tak pernah ada definisi yang jelas dan jernih, apa yang dimaksud serta apa saja ruang lingkup "penodaan agama".

Halaman:



Terkini Lainnya

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com