JAKARTA, KOMPAS.com - Total kerugian negara akibat penyalahgunaan importasi yang dilakukan oleh PT Garam (Persero) masih menunggu hasil audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Namun jika dilihat dari potential loss bea masuk saja, maka kerugian negara tercatat mencapai Rp 3,5 miliar. Kerugian ini dihitung dari tarif bea masuk dikalikan nilai importasi yang seharusnya dibayarkan PT Garam ke negara apabila mengimpor garam konsumsi.
"Total kerugiannya kita sedang minta ke BPK untuk melakukan audit. Tetapi sementara kita bisa hitung impor garam konsumsi 75.000 ton, bea masuk yang harusnya dibayarkan Rp 3,5 miliar," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (11/6/2017).
Selain hilangnya potensi bea masuk, kerugian ekonomi lain juga bakal dirasakan pelaku industri garam dalam negeri, utamanya para petani garam. Namun, kerugian ini juga dikarenakan kebijakan importasi garam itu sendiri.
"Petani garam kan akan panen bulan ini dan dua bulan ke depan. Kalau sekarang pasar sudah penuh dengan garam, tentunya dia (petani) akan kesulitan mendapatkan harga yang baik," imbuh Agung.
Ditambah lagi, kerugian yang kemungkinan besar dialami masyarakat konsumen. Sebab, garam industri yang diimpor PT Garam harganya Rp 400 per kilogram. Namun, PT Garam mengemasnya sebagai garam konsumsi dan dijual dengan harga Rp 1.200 per kilogram.
Baca: Ini Kronologi Penyelewengan Pengadaan Garam Impor oleh Dirut PT Garam
Disparitas harga yang tinggi merugikan konsumen. Selain itu, ada potensi kerugian dari sisi kesehatan. Sebab, garam konsumsi seharusnya mengandung kadar NaCl di bawah 97 persen. Sedangkan hasil lab terhadap SEGI TIGA G milik PT Garam berkadar hingga 99 persen.
"Tetapi soal kesehatan itu, bukan ranah kami. Tetapi BPOM atau Dinas Kesehatan," kata Agung.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri menangkap Direktur Utama PT Garam (Persero), Achmad Boediono kemarin Sabtu (10/6/2017).
Achmad Boediono disangka melanggar Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan melanggar Pasal 3 atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.