JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika bidang Hukum, Hendri Subiakto memastikan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tak akan seperti orde baru.
Pemerintah, kata dia, tidak akan menguasai frekuensi, namun mengaturnya.
"Pemerintah tidak akan menguasai frekuensi, tapi meregulate frekuensi karena Pemerintah adalah negara sesuai UUD 1945," kata Hendri dalam sebuah acara diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/6/2017).
"Ini bukan orde baru, kita sudah 18 tahun reformasi," sambung dia.
(baca: UU Penyiaran Beraroma Orde Baru)
Pemerintah dalam hal ini berkewajiban menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), yang menyebutkan "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Frekuensi, menurut dia, sama dengan kekayaan yang dimaksud dalam pasal tersebut sehingga Pemerintah perlu mengelolanya untuk kepentingan masyarakat luas.
Hendri menyampaikan, yang diatur oleh pemerintah lebih kepada infrastruktur dalam hal tata laksana penggunaan frekuensi, bukan kepada konten.
Sebab, penggunaan frekuensi oleh masyarakat saat ini sangat tinggi, sementara frekuensi yang ada terbatas.
Adapun soal konten penyiaran merupakan tanggungjawab Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Yang namanya demokrasi, kebebasan berpendapat, itu kan konten. Makanya konten tidak boleh diurus Pemerintah," tuturnya.
Beberapa pihak sebelumnya memprediksi revisi UU Penyiaran akan berimbas pada produk penyiaran yang beraroma orde baru sebab Kementerian Komunikasi dan Informatika akan berposisi sebagai penentu kebijakan, pengatur, pengawas, dan pengendali penyiaran.
Hal itu diungkapkan Anggota Kelompok Kerja Dewan Pers, Leo Batubara dalam kesempatan yang sama.
Di samping itu, UU ini juga berpotensi menimbulkan praktik monopoli di industri penyiaran.
Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK, misalnya, beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa penerapan konsep single mux (pelaksana satu pihak) berpotensi menciptakan praktik monopoli yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Penguasaan frekuensi siaran dan infrastruktur oleh single mux operator oleh Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
Penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini, kata Ishadi, dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Selain itu, menurut Ishadi, penetapan single mux operator akan berdampak pada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi penyiaran dikelola oleh satu pihak saja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.