JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat pembahasan panitia khusus Revisi Undang-undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme buntu saat membahas masa penangkapan terduga teroris.
Awalnya, pemerintah mengusulkan masa penangkapan terduga teroris selama 30 hari tanpa perpanjangan. Namun, usulan tersebut ditentang seluruh fraksi sehingga pemerintah mengusulkan masa penangkapan selama 14 hari dan dapat diperpanjang selama 14 hari jika dibutuhkan. Usulan tersebut lebih lama dari undang-undang sekarang yang hanya 7 hari.
Wakil Kepala Detasemen Khsusus (88) Antiteror 88, Brigadir Jenderal (Pol) Eddy Hartono, selaku perwakilan pemerintah, menyatakan penambahan masa penangkapan dalam undang-undang baru sangat dibutuhkan.
"Tujuan lebih dari 7 hari itu mengantisipasi serangan-serangan susulan dari teman-temannya. 7x24 jam hanya habis untuk pengembangan penangkapan. Kami merasakan betul 7 hari enggak terpenuhi," ucap Eddy, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/5/2017).
Hal senada disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Enny Nurbaningsih.
"Terorisme bukan pidana biasa, tapi serious crime. Masa penangkapan 7 hari mungkin bisa melanggar HAM," ujar Enny.
(Baca: Pasal ?Guantanamo? di RUU Antiterorisme Penuh Kontroversi)
Dengan adanya kebuntuan antara pemerintah dan DPR, Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme, Hanafi Rais, menawarkan jalan tengah. Masa penangkapan tetap ditambah menjadi 14 hari dengan masa perpanjangan penangkapan selama 7 hari bila dibutuhkan.
Namun, Fraksi PKS bersikeras agar masa penangkapan hanya 14 hari tanpa adanya perpanjangan, sedangkan Nasdem, PKB, dan PPP bersepakat agar masa penangkapan selama 14 hari dengan masa perpanjangan 7 hari.
"Jadi ini ditunda dulu rapatnya sampai Rabu minggu depan. Tapi kan mereka (Densus 88) selama ini diberi 7 hari terbukti berhasil. Masa ditambah 100 persen jadi 14 hari enggak bisa," ujar Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi'i.