JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Al Araf berpendapat bahwa pendekatan represif melalui operasi militer tidak efektif dalam menanggulangi persoalan terorisme.
Menurut dia akar dari terorisme adalah ideologi radikal yang dianut oleh kelompok tertentu. Sedangkan persoalan ideologi tidak bisa diantisipasi dengan pendekatan represif.
"Akar dari terorisme adalah adanya ideologi perjuangan dan perlawanan. Persoalan ideologi tidak bisa dijawab dengan pendekatan represif," ujar dalam diskusi bertajuk 'Dinamika Gerakan Terorisme dan Polemik Revisi UU Anti-Terorisme', di Auditorium Nurkholis Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (31/5/2017).
(Baca: Direktur Imparsial: Pelibatan TNI Terkait Terorisme Harus Penuhi 3 Syarat)
Al Araf menuturkan, aktor penegak hukum saja tidak bisa dijadikan satu-satunya alat untuk menanggulangi terorisme.
"Untuk antisipasi itu maka yang penting adalah deradikalisasi di aspek pencegahan. Maka aktor penegak hukum tidak bisa dijadikan satu-satunya alat. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama harus memegang peranan dalam proses deradikalisasi," ujar Al Araf.
"War on terrorism ala Amerika Serikat terbukti tidak mampu mengantisipasi terorisme," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Dosen Universitas Paramadina Shiskha Prabawaningtyas menilai dengan dilibatkannya TNI dalam RUU tersebut maka pendekatan yang digunakan dalam menangani terorisme adalah pendekatan militeristik.
Namun, sejumlah riset menunjukkan bahwa pendekatan militer tidak efektif untuk menanggulangi masalah terorisme.
(Baca: Anggota Komisi I: Pelibatan Militer Terkait Terorisme Cukup Diatur UU TNI)
Shiskha memaparkan, berdasarkan studi lembaga riset internasional bidang terorisme RAND tahun 2008, operasi militer yang dilakukan di Amerika Serikat hanya mampu menghentikan sebanyak 7 persen kelompok teroris dari total jumlah 268 kelompok teroris.
"Berdasarkan riset RAND tahun 2008, hanya 7 persen dari 268 grup bisa dihentikan melalui operasi militer," ujar Shiskha.