YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril mengatakan, pembagian peran dan tanggung jawab antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam hal rekrutmen hakim tidak bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Prinsip itu diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan".
Oce mengatakan, pada pasal tersebut ada penekanan frasa "menyelenggarakan peradilan". Oleh karena itu, keterlibatan KY dalam rangka penguatan MA melalui perekrutan hakim tidak melanggar prinsip kehakiman yang merdeka.
"Konsep independensi kekuasaan kehakiman dalam perspektif prinsip-prinsip peradilan yang baik harus diletakkan sejalan dengan upaya membangun integritas dan kompetensi," ujar Oce dalam diskusi "Shared Responsibility dalam Manajemen Jabatan Hakim dari Perspektif Ketatanegaraan", di Yogyakarta, Rabu (24/5/2017).
"Hal itulah yang seharusnya diletakkan sebagai konsiderasi untuk mendesain hubungan struktural dan fungsional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai sesama organ konstitusional dalam rumpun kekuasaan kehakiman," kata dia.
Oce menambahkan, MA didesain sebagai organ penyelenggara peradilan. Sementara KY didesain sebagai organ yang bertugas untuk melaksanakan fungsi lain guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
MA dan KY sedianya bisa saling bekerja sama dan bersinergi.
Sementara akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menilai, konsep tanggung jawab bersama atau shared responsibility system dalam pengelolaan manajemen hakim perlu diterapkan. Ini termasuk soal rekrutmen hakim.
Hal itu sebagai cara untuk meningkatkan integritas hakim.
Saat ini, pelaksanaan seleksi pengangkatan hakim pada badan peradilan di bawah MA sepenuhnya menjadi kewenangan MA. Adapun KY punya andil terlibat dalam rekruitmen calon hakim agung.
Menurut dia, rekrutmen hakim dengan menerapkan konsep seperti ini sangat rentan terjadi penyelewengan. Kemudian, peradilan yang ideal akan sulit diwujudkan.
"Integralisasi peran Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk meningkatkan integritas hakim harus tetap dipertahankan," kata Hibnu.
(Baca juga: Catatan Jimly Asshiddiqie soal Keberadaan Komisi Yudisial)