JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno menyadari, pendidikan di Indonesia saat ini sedang terjangkiti virus single correct answer. Pola tersebut mematikan daya kritis anak-anak dan sikap menghargai perbedaan pendapat.
Menurut dia, tujuan proses belajar sesungguhnya adalah menumbuhkan kemampuan berfikir dan menyampaikan pendapat, serta argumentasi yang melatarbelakangi pendapatnya itu (reasoning).
Totok mengatakan, guru seringkali memberikan tirani jawaban yang benar, dan cilakanya anak terjebak pada tirani itu. Totok juga bilang, guru tidak membiasakan anak-anak melihat semua jawaban bisa benar dengan alasan masing-masing.
"Itu terpatri hanya ada satu jawaban yang benar. Dari segi gagasan, kita kadang menjebak pada single correct answer," kata Totok saat memberikan sambutan pembukaan program Sekolah Guru Kebhinekaan di Jakarta, Sabtu (20/5/2017).
(Baca: Sejak Dilahirkan, Gen Manusia Indonesia adaalah Gen Pembauran)
Menurut Totok, kondisi ini juga didorong oleh sistem ujian yang tidak membuka ruang bagi anak untuk mampu menggali pendapat. Memang, kata dia, ujian nasional masih harus menggunakan bentuk soal pilihan ganda. Yang artinya hanya ada satu jawaban tunggal yang benar.
"Tetapi kalau untuk ulangan-ulangan harian, jangan pilihan ganda. Esai saja lah, untuk menghargai jawaban yang berbeda-beda. Ini akan mendorong anak-anak kita reasoning, sekaligus melatih perbedaan," ucap Totok.
Dia menambahkan, tugas pendidik sejatinya mengantarkan anak didik untuk membuka pikiran, mencari berbagai alternatif jawaban. Dari belajar menghargai perbedaan gagasan itulah, anak-anak bisa tumbuh dengan menghargai perbedaan etnis, suku bangsa, dan agama di Indonesia.
"Mari kita biasakan anak menghargai pendapat yang berbeda dari kawannya. Mengapresiasi jawaban yang berbeda-beda," ucap Totok.