JAKARTA, KOMPAS.com - Tentara Nasional Indonesia (TNI) berduka. Sebanyak 12 personel TNI tersambar peluru sendiri. Empat orang di antaranya meninggal dunia, sementara delapan lainnya terluka. Sebabnya, senjata jenis Giant Bow milik Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) TNI Angkatan Darat mendadak mengalami kemacetan sehingga menembakkan peluru berkaliber 23 mm ke segala penjuru.
Peristiwa nahas ini terjadi saat latihan gabungan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Natuna, Kepulauan Riau.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengkritisi sejumlah hal di balik insiden senjata petaka tersebut.
Malapraktik pengadaan alutsista?
Pertama, soal sorotan publik terhadap pengadaan alat utama sistem persenjataan pabrikan Norinco, Tiongkok tersebut yang dinilai karut marut. Khairul tidak sepenuhnya sependapat atas hal ini.
"Potensi karut marut pengadaan barang di negara kita ini memang besar. Isu ini juga selalu dianggap seksi. Tapi yang perlu dicatat itu, malpraktik pengadaan barang tidak selalu beriringan dengan malfungsi," ujar Khairul kepada Kompas.com, Jumat (19/5/2017).
(Baca: Insiden Latihan Tembak di Natuna, Ini Komentar KSAD)
Untuk menautkan insiden tersebut dengan potensi malpraktik pengadaan, tentu membutuhkan investigasi mendalam. Dugaan mark up harga atau down grade kualitas alutsista tidak bisa dipercayai begitu saja hanya dengan komentar tanpa dasar.
Khairul mengatakan, mark up memang menimbulkan kerugian di sisi pembiayaan. Praktik down grade kualitas juga menimbulkan kerugian dari sisi manfaat.
Namun, sekali lagi, Khairul menegaskan bahwa kedua praktik kotor itu belum tentu membuat sebuah barang pengadaan menjadi malfungsi.
"Bisa saja meriam itu tetap dapat digunakan sebagai senjata antiserangan udara ringan yang efektif walaupun bagi yang paham, perangkat itu mungkin dinilai menjadi kurang mumpuni dari yang semestinya," ujar Khairul.
Malfungsi
Khairul pun meyakini bahwa insiden tersebut lebih cenderung disebabkan oleh faktor malfungsi.
"Senjata itu secanggih apapun membutuhkan pemeliharaan yang maksimal agar dapat berfungsi secara optimal," ujar Khairul.
(Baca: 4 Anggota TNI Tewas dan 8 Terluka Saat Latihan Tembak Meriam)
"Jadi untuk saat ini, abaikan dulu dugaan karut marut pada pengadaan, meski menduga demikian cenderung sensasional dan simpel. Mari fokus pada malfungsi. Pasti ada problem dari sisi mekanis atau mungkin kegagalan sistem kendali," lanjut dia.
Perlu investigasi komprehensif untuk menyelidiki penyebab gagalnya senjata itu beroperasi. Investigasi yang komprehensif ini bisa berangkat dari fakta bahwa pengadaan alutsista telah melalui uji kelaikan dan kemudian dioperasikan oleh personel kompeten.
Jika pada tahap ini tidak ada persoalan, mari bergeser ke tata kelola perawatan dan pemeliharaan. Perawatan dan pemeliharaan berkaitan ini berkaitan dengan kesiapan alutsista untuk tampil optimal dan bisa digunakan sewaktu-waktu.
"Terdapat dua aspek juga, yakni pemeliharaan rutin dan kalibrasi berkala. Pemeliharaan rutin kemampuan dilakukan dengan latihan menggunakan alat itu mulai dari satuan kecil hingga latihan militer gabungan untuk memastikan alat itu siap tempur dan kompetensi personel tetap terjaga," ujar Khairul.
"Sedangkan kalibrasi berkala dilakukan untuk memastikan perangkat selalu dalam kondisi laik dan segera dapat diperbaiki jika ada indikasi gangguan yang berpotensi menghambat operasi," lanjut dia.
(Baca: Nama Prajurit TNI Korban Insiden Latihan Tembak di Natuna)
Jadi, Khairul berpendapat bahwa untuk memastikan penyebab insiden nahas di Natuna, sebaiknya pastikan terlebih dahulu apakah pemeliharaan dan perawatannya sudah dilakukan dengan semestinya? Memadaikah alokasi anggaran untuk itu? Lalu, bagaimana realisasi perawatan rutin dan kalibrasi? Apakah sudah berjalan baik?
"Lebih baik itu dululah yang harus dikaji, sebelum kita membahas praktik buruk pengadaan alutista atau stigma negatif terhadap negara produsen," ujar Khairul.
Penyebab masih misteri
Pihak TNI Angkatan Darat sendiri belum mengetahui penyebab kerusakan senjata Giant Bow asal Tiongkok itu.
"Ya, masih diinvestigasi. Mungkin ada kelainan barangkali, tapi masih kami diinvestigasi," ujar Kepala Staf TNI AD Jenderal Mulyono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (18/5/2017).
Investigasi itu salah satunya dilakukan dengan memeriksa senjata macet itu serta memeriksa personel TNI yang mengoperasikan senjata tersebut. Mulyono tidak dapat memastikan kapan proses investigasi tersebut rampung.
(Baca: Prajurit TNI Tewas Saat Latihan, Ketua Komisi I Minta Evaluasi Perawatan Alutsista)
Meski demikian, Mulyono merasa aneh. Sebab, dari sekian banyak senjata asal China yang dipakai, hanya satu yang mengalami macet sehingga menewaskan personel TNI AD.
"Ya kan (senjata) yang lain tidak, ini macet sendiri. Tentu ada sesuatunya. Nah, ini yang kami investigasi," ujar Mulyono.
Tentang korban tewas dan luka sendiri, Mulyono memastikan, ditanggung oleh TNI. Personel yang meninggal akan diberikan santunan.
Diketahui, latihan gabungan PPRC ini merupakan latihan gladi ke dua. Acara puncak rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 19 Mei 2017. Latihan ini disebut gabungan tiga matra dari Angkatan Darat, Laut dan Udara.